Pada 18 Oktober 1945, Achmad Chairun yang menyebut dirinya sebagai “Bapak Rakyat” Tangerang, memimpin pengambilalihan kekuasaan. Chairun mengangkat dirinya sebagai Bupati Tangerang. Tiga hari kemudian, aparatur baru dari tingkat kabupaten hingga kelurahan ditetapkan mengganti pejabat sebelumnya. Ditetapkan pula Tangerang lepas dari Republik Indonesia, dan sejak saat itu berdirilah Republik Tangerang yang beraliran komunis. Untuk mengoordinasikan kekuasaannya, mereka membentuk suatu direktorium yang dikomando oleh empat serangkai, yakni Achmad Chairun, Sumo, Suwono, dan Abas. Adapun Mujitaba menjabat sebagai Sekretaris Badan Penasihat.
Dalam persidangan, atas permintaan Jaksa Mr. Priyatna, Mujitaba memberikan keterangan mengenai riwayat hidupnya. Ia menjelaskan bahwa pada masa pendudukan Jepang, ia hidup sebagai pedagang warung kecil di Teluk Naga, Tangerang. Tahun 1945, ia bergabung sebagai anggota Laskar Rakyat yang aktif berjuang melawan tentara pendudukan. Setahun berselang, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Tangerang, merangkap sebagai pegawai bidang penerangan. Saat itu bupati Tangerang adalah Achmad Chairun. Terdakwa juga menjadi sekretaris Dewan Penasehat Agung yang mendampingi pemerintahan kabupaten. Pada 1947--49, ia menjadi anggota polisi RI dan ikut bergerilya ke hutan melawan tentara Belanda. Suatu ketika, dalam perjalanan menemui keluarganya ke Tangerang, ia tertangkap tentara NICA, kemudian diserahkan kepada KNIL. Ia dipenjara di tahanan Mauk. Dalam waktu itulah terdakwa bergabung ke dalam KNIL.
Mengapa hanya Mujitaba yang divonis? Karena pada saat persidangan dimulai, para pelaku yang lain sudah meninggal dunia. Dengan demikian, tinggallah Mujitaba seorang pelaku penculikan dan pembunuhan Oto yang masih hidup.
*) Iip D. Yahya, peneliti dan penulis, tinggal di Bandung
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menyingkap fakta seputar pembunuhan Oto “Si Jalak Harupat”