Jakarta (ANTARA) - 20 Desember 1945.
“Mata-mata musuh yang menjual Kota Bandung satu miliun!” teriak para pemuda laskar itu. “Agen NICA! Mata-mata musuh!”
“Nak, saya jangan dimatikan, saya orang baik,” ujar laki-laki separuh baya itu, mencoba menghentikan amarah para pemuda yang membawa berbagai senjata tajam, yang mengurung dirinya di tepi Pantai Ketapang, Mauk, Tangerang, pagi itu, sekitar pukul 08.30. Kedua tangannya bergerak tanpa arah mencoba menahan sabetan senjata para pengeroyok itu.
Ia mengeluarkan kain dari sakunya dan berteriak, “Ini bukti saya bukan agen NICA, bukan mata-mata, bawa ini pada Bung Karno!” Lalu sebuah belati yang terayun dari leher bagian belakang membuat laki-laki itu terhuyung jatuh. Darah mengucur deras. Seorang laki-laki lain yang turut digiring ke tepi pantai juga diperlakukan sama.
Tubuh dua laki-laki yang jadi korban itu terapung di atas air laut. Dan para pemuda pelaku eksekusi itu lalu pergi begitu saja meninggalkan keduanya. Para pemuda itu tak tahu dan tak sadar siapa yang baru saja mereka bunuh itu. Sementara itu seseorang yang sejak tadi mengawasi dari jauh tak berani mendekat. Ia hanya melihat tubuh korban yang telah menjadi mayat itu terbawa air laut.
Laki-laki yang dituduh sebagai mata-mata itu adalah Oto Iskandar Di Nata, dan laki-laki lain yang dibunuh bersamanya ialah Hasbi bin Nasimun. Para pembunuhnya, para pemuda itu, adalah anggota Laskar Hitam dari Tangerang. Sedangkan seseorang yang melihatnya dari jauh adalah Djumadi, seorang anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang sudah mengenal Oto sejak 1932.
Jasad Oto tidak pernah diketemukan.
Narasi kronologi pembunuhan Oto Iskandar Di Nata, pahlawan nasional yang juga dikenal dengan julukan Si Jalak Harupat itu, penulis susun berdasar laporan LKBN ANTARA dan media lain pada tahun 1950-an. Persidangan penculik dan pembunuh Oto tersebut diliput secara detail oleh ANTARA.
Oto dan pekik "Merdeka"
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Oto menjabat sebagai Menteri Negara di kabinet pertama Republik Indonesia tahun 1945. Ia bertugas mempersiapkan terbentuknya BKR dari laskar-laskar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia.
Awal ketertarikan penulis pada tokoh Oto Iskandar Di Nata ialah ketika secara tak sengaja menemukan data pengadilan Mujitaba bin Murkam, salah seorang yang terlibat dalam penculikan dan pembunuhan Oto.
Saat itu, pada 2003-2004, penulis sedang “membongkar” dokumen Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA periode 1950-59, untuk kepentingan penulisan biografi Jaksa Agung Soeprapto. Dalam periode itulah pengadilan pembunuhan atas Oto bisa diikuti cukup runtut.