Menyingkap fakta seputar pembunuhan Oto Iskandar "Si Jalak Harupat" Di Nata
Rabu, 14 Februari 2024 10:01 WIB
Detail Eksekusi
Kita kembali ke kasus penculikan dan pembunuhan Oto.
Orang yang terakhir bertemu Oto pada hari penculikan ialah Sanusi Hardjadinata yang di kemudian hari menjadi Gubernur Jawa Barat. Hal ini diakui Sanusi pada peringatan hari wafat Oto 21/12/1956, yang dimuat ANTARA keesokan harinya.
Menurutnya, pada Desember 1945, ia sedang bercakap-cakap dengan Oto di Jalan Kapas Jakarta. “Tiba-tiba datanglah beberapa orang pemuda mengambil almarhum.” Sanusi segera melaporkan kejadian itu kepada yang berwajib, tetapi laporannya tidak mendapat perhatian. “Maklumlah pada waktu itu saya bukan orang terkemuka dan tidak mendapat perhatian dari yang berwajib.”
Persidangan kasus Oto ini berakhir dengan vonis 15 tahun untuk Mujitaba, seperti yang penulis dapatkan dalam biografi Priyatna Abdurrasyid, salah seorang jaksa penuntut umum, ditulis oleh Ramadhan KH yang berjudul, "Dari Cilampeni ke New York Mengikuti Hati Nurani" (Sinar Harapan, 2001).
Dari laporan ANTARA juga dapat disusun proses penculikan Oto sebagai berikut.
Para pemuda laskar itu membawa Oto dari Jakarta ke sebuah penjara polisi di Tangerang. Terdakwa Mujitaba bin Murkam pada pengadilan 16 Agustus 1958, mengakui bahwa pada suatu hari di bulan Desember 1945, ia diperintahkan oleh Direktorium Tangerang untuk mengambil H. Hasbi bin Haji Nasimun dari penjara Tanah Tinggi, Tangerang. Sementara sepasukan Laskar Rakyat diperintahkan pergi ke asrama polisi untuk mengambil Oto. Dalam deskripsi terdakwa, Oto saat itu adalah seorang laki-laki setengah tua, tinggi, berpakaian jas dan bercelana panjang, dan memakai topi (helmhoed).
Setelah dihadapkan kepada Direktorium, terdakwa bersama Usman, Lampung, Dullah, dan Mail, diperintahkan oleh Sumo untuk membawa kedua tahanan itu ke Mauk. Dalam perjalanan, kedua tahanan didampingi kiri-kanan oleh Usman dan Lampung. Adapun terdakwa mengawal perjalanan dengan duduk di dispatbord. Bersama mereka, turut pula beberapa anggota laskar yang duduk di kap dan dispatbord mobil bercat hitam. Mereka berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pistol serta golok. Tiba di Mauk menjelang magrib, kedua tahanan itu diserahkan kepada pimpinan BKR bernama Djumadi dalam waktu terpisah.
Hasbi diturunkan terlebih dahulu. Sambil memegang golok, Mujibata berkata, “Ini saya tarok mata-mata musuh, sebentar akan saya bawa lagi ke sini seorang mata-mata musuh dari Bandung.” Sambil beranjak pergi hendak mengambil tahanan satunya, ia mengancam, “Ini jangan hilang, kalau hilang gantinya orang-orang di sini.”
Djumadi hanya bisa melihat kejadian itu dan diliputi perasaan penuh ketakutan. Sekira pukul tujuh malam, Mujitaba datang lagi dengan mobil yang sama lalu menyerahkan Oto. Kedua tahanan itu lalu dimasukkan ke dalam sel.
Keesokan paginya, eksekusi dilakukan atas perintah Sumo, salah seorang dari empat serangkai pendiri Direktorium Tangerang. Tiga pemimpin lain ialah Achmad Choirun, Suwono, dan Abas. Setelah eksekusi berlangsung, satu regu pasukan datang untuk memeriksa kedua tahanan, tetapi mereka telah terlambat. Terkesan ada keraguan di kalangan Laskar Hitam dan Direktorium Tangerang, bagaimana harus memperlakukan Oto. Kalau melihat waktu eksekusi, saat itu Direktorium telah resmi memisahkan diri dari RI. Artinya, Direktorium menganggap RI sebagai “musuh” dan Oto adalah salah seorang mantan menteri negara RI atau pengikut setia "Republiknya" Soekarno.