"Kembalinya Taiwan ke China merupakan bagian penting dari tatanan internasional yang terbentuk pasca Perang Dunia II. Hal ini secara jelas diatur dalam Deklarasi Kairo dan Perjanjian Potsdam. Menantang prinsip 'Satu China' berarti menantang tatanan internasional dan akan mendapat tentangan bersama dari komunitas internasional," ungkap Mao Ning.
Mao Ning menyebut sudah ada 182 negara menjalin hubungan diplomatik dengan China berdasarkan prinsip "Satu China".
"Permasalahan Taiwan tidak ada hubungannya dengan demokrasi, namun berkaitan dengan kedaulatan dan integritas wilayah China. Kekuatan 'kemerdekaan Taiwan' menggunakan 'demokrasi' untuk menutupi agenda tersembunyi mereka dalam memecah belah negara. Upaya mereka gagal," tambah Mao Ning.
Pemerintah China, kata Mao Ning, meminta negara yang masih memiliki hubungan resmi dengan Taiwan agar segera mengikuti prinsip "Satu China".
"China mendesak AS untuk bertindak serius sesuai dengan komitmen yang telah ditegaskan berkali-kali oleh para Pemimpin AS untuk tidak mendukung 'kemerdekaan Taiwan', 'Dua China' atau 'Satu China, Satu Taiwan', menangani masalah terkait Taiwan dengan hati-hati dan berhenti mengirimkan sinyal yang keliru kepada kelompok separatis Taiwan," ungkap Mao Ning.
Terkait dengan DPR AS yang pada Jumat (12/1) mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Non-Diskriminasi Taiwan yang mewajibkan Menteri Keuangan untuk menggunakan pengaruh Amerika di Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mendukung keanggotaan Taiwan dalam IMF, Mao Ning mengatakan hal tersebut berarti AS mencampuri urusan dalam negeri China.
"AS berupaya memanipulasi masalah Taiwan untuk tujuan politik guna menciptakan 'Dua China' dan 'Satu China, satu Taiwan'. Kami sangat menyesalkan dan dengan tegas menentang hal ini, dan kami telah menyampaikan pernyataan keberatan kepada pihak AS," ungkap Mao Ning.