Berat tubuhnya berkisar antara 1.600 kilogram dan 2.200 kg, tinggi tubuhnya mencapai 128--175 sentimeter. Meski demikian, dia mampu menjelajah 15--20 kilometer per hari.
Rhinoceros sondaicus memang mamalia bertubuh besar yang istimewa. Berdasarkan pengamatan WWF Indonesia bersama Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) pada bulan Oktober 2009--April 2010, satwa yang sempat dikira unicorn oleh penjelajah asal Italia Marco Polo karena mempunyai satu cula ini memiliki ruang jelajah mencapai 169--974 hektare.
Mamalia yang lebih dikenal dengan sebutan badak jawa ini memang merupakan penjelajah soliter sejati. Habitatnya pernah menyebar dari India, Myanmar, Kamboja, Thailand, Vietnam, Laos, Semenanjung Malaysia, Pulau Sumatra, Pulau Jawa, dan Borneo.
Bahkan, Blyth (1862) menyebutkan badak jawa hampir pernah menempati tempat hidup yang sama dengan badak india di daerah penyebarannya di kaki pegunungan Himalaya dan lembah Brahmaputra.
Pada tahun 1927, badak jawa masih ditemukan di Langkat dan pada tahun 1933 satwa ini masih ditemukan di Palembang. Sekitar 1865--1900, badak jawa masih banyak berkeliaran di daerah Gunung Slamet, Gunung Ciremai, Gunung Papandayan, Gunung Tangkuban Perahu, Cisitu Bandung, Telaga Warna, Puncak Pass, dan Gunung Gede--Pangrango.
Hanya ada beberapa spesimen badak jawa di museum di dunia, salah satunya di Museum Zoologi Bogor. Jika manusia masih bisa menjumpai badak sumatra di beberapa kebun binatang di dunia, tidak satu pun individu badak jawa dapat ditemui di kebun binatang.
Tidak seperti kerabatnya badak afrika yang hidup di padang savana, menurut Rhino Monitoring Officer WWF Indonesia Unjung Kulon Project Ridwan Setiawan, satwa browser atau pemakan semak dan pucuk daun yang kini hanya tersisa 58 individu di hutan alam primer dan sekunder Taman Nasional Ujung Kulon sulit ditemui.
Pascaletusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 yang membuat manusia tidak menyentuh ujung barat Pulau Jawa maka Semenanjung Ujung Kulon ini menjadi benteng terakhir badak jawa di dunia.
Melacak Jejak Badak
Kemajuan teknologi membantu melacak keberadaan badak. Dengan video trap, kamera trap, dan GPS pergerakan badak lebih mudah diketahui.
Kendati demikian, sangatlah penting bagi tim Rhino Monitoring Unit atau Rhino Health Unit dari Balai Taman Nasional Ujung Kulon mengetahui keberadaan satwa bertubuh tambun ini dengan mengenali jejak badak.
Pengalaman itu pula yang dibagikan WWF Indonesia dan Balai Taman Nasional Ujung Kulon kepada sekitar 10 wartawan yang mengikuti media trip ke TNUK.
Setelah malam sebelumnya rombongan menyeberang dengan kapal selama hampir tiga jam dari Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten ke Pulau Peucang di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, keesokan harinya kegiatan melacak jejak badak jawa dimulai.
Hanya butuh waktu lima menit menyeberang dengan kapal kayu dari Pulau Peucang nan elok ke zona inti taman nasional sebelum akhirnya rombongan memulai trekking di Blok Cidaon.
Ridwan yang akrab disapa Iwan memimpin rombongan yang merupakan gabungan wartawan, tim WWF Indonesia, dan tim Balai TNUK. Kebetulan Leader of Ujung Kulon Project WWF Indonesia Elisabeth Purastuti ikut pula dalam rombongan.
Hanya butuh waktu 15 menit berjalan kaki menembus vegetasi pesisir Blok Cidaon sampai akhirnya rombongan tiba di padang rumput luas berukuran dua sampai tiga lapangan bola. "Kami sampai di padang penggembalaan Cidaon," ujar Iwan.
Lebih dari 20 kawanan banteng tampak sedang memamah sambil berteduh di antara pepohonan yang sekitar padang pengembalaan. Mereka tampak begitu waspada begitu mengetahui kehadiran tamu asing, hanya beberapa saja yang masih sibuk memamah.
"Biasanya ada merak juga di sini, tetapi ini tidak kelihatan. Namun, barusan suaranya terdengar," ujar Elisabeth.
Trekking dilanjutkan ke dalam zona inti taman nasional, mengambil arah ke Cibunar. Tidak jauh berjalan vegetasi langkap mulai tampak. Ridwan lantas menjelaskan bagaimana invasi tanaman jenis palem ini mengancam ketersediaan pakan badak jawa.
Langkap tumbuh subur di dataran rendah Taman Nasional Ujung Kulon dan membuat tanaman yang menjadi pakan badak terhambat pertumbuhannya. Tanaman yang tumbuh menjulang hingga 5 meter ini pun tidak terdeteksi penyebarannya dari udara karena tertutup lebatnya pohon-pohon tinggi di sana.
"Bahkan, penyebaran langkap ini sulit terdeteksi dengan citra satelit," ujar Iwan.
Rombongan lantas meneruskan trekking mencari jejak si penjelajah berbadan besar di Taman Nasional Ujung Kulon. Selang 10 menit berjalan Iwan kembali menghentikan langkah kaki rombongan.
"Ini ada jejak badak," ujar dia.
Sedikit tertutup daun talas, jejak kaki satwa berkuku ganjil ini memang tampak begitu besar, lebarnya hampir mencapai 30 cm. Iwan memperkirakan jejak tersebut berusia hampir dua minggu.
"Sudah pernah ada genangan air di sini, telur-telur cacingnya pun sudah menetas, ini sudah lama. Tunggu di sana, biar saya lihat jejaknya ke sana, jangan semua dulu nanti jejaknya rusak terinjak," ujar dia.
Berdasarkan jejak yang ditemukan tersebut, badak jawa jantan dewasa pernah melintas di jalur trekking utama Cibunar dan memotong ke arah selatan sekitar dua minggu lalu. Seperti sifat aslinya, pemilik jejak ini menjelajah sendiri.
Menurut Penanggung jawab Rhino Monitoring Unit (RMU) dan Rhino Health Unit (RHU) Balai TNUK Muhiban, peta jelajah badak bercula satu di Semenanjung Ujung Kulon memang merata. Ini diketahui setelah tim Balai TNUK dan WWF Indonesia bekerja sama memasang 120 video trap di empat blok di taman nasional tersebut.
Tidak heran jika jejak-jejak satwa langka ini juga dapat ditemui di Blok Cidaon yang merupakan titik terdekat dari Pulau Peucang.
Mencari Jejak Penjelajah Ujung Kulon - Oleh Virna Puspa Setyorini -
Sabtu, 24 Mei 2014 23:42 WIB