Jakarta (ANTARA) - Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang diselenggarakan setiap tahun sering kali menimbulkan polemik, terutama untuk sekolah negeri.
Sejak awal digagas kebijakan PPDB berbasis zonasi pada 2017, sebenarnya memiliki tujuan yang baik. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) saat itu, Muhadjir Effendy mengatakan bahwa PPDB zonasi bertujuan untuk mengatasi ketimpangan, terutama kastanisasi di dunia pendidikan.
Kastanisasi yang dimaksud yakni ada sekolah unggulan atau favorit dan nonunggulan. Sekolah unggulan biasanya berisi siswa-siswa berprestasi maupun siswa yang memiliki keistimewaan tertentu. Sementara sekolah nonunggulan lebih banyak diisi siswa yang memiliki kemampuan rata-rata.
Selain itu, PPDB zonasi tersebut mendekatkan jarak antara rumah siswa dan sekolah. Sebelum sistem zonasi diberlakukan, banyak siswa yang rumahnya hanya berjarak beberapa ratus meter dari sekolah unggulan, tetapi harus bersekolah di lokasi yang lebih jauh.
Hal itu terjadi karena nilai siswa tidak mencukupi untuk masuk ke sekolah di dekat rumahnya tersebut. Kondisi itu merugikan siswa, karena harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk biaya transportasi.
Dari sisi sekolah, PPDB zonasi juga bertujuan untuk pemerataan kualitas pendidikan. Berdasarkan sistem sebelumnya, wajar kiranya, jika sekolah menjadi unggulan karena memiliki siswa yang sebagian besar berprestasi. Pekerjaan guru yang mengajar di sekolah itu pun menjadi lebih mudah, jika dibandingkan dengan sekolah yang sebagian besar siswanya berkemampuan rata-rata.
Guru yang mengajar di sekolah yang memiliki siswa dengan kemampuan rata-rata harus mengeluarkan ekstra tenaga agar siswa dapat memahami pelajaran, dan bahkan berprestasi.
PPDB zonasi tersebut juga dimanfaatkan untuk pemenuhan sarana prasarana, redistribusi dan pembinaan guru, serta pembinaan kesiswaan.
Pada awal penerapan PPDB zonasi, sekolah harus menerima paling sedikit sebesar 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Sebanyak 90 persen tersebut adalah peserta didik yang tempat tinggalnya masuk dalam zonasi sekolah.
Pemerintah yang menerapkan radius zona terdekat. Kemudian sisanya sebanyak 10 persen digunakan untuk PPDB melalui jalur prestasi, pindahan, maupun afirmasi.
Namun persentase tersebut diprotes para orang tua, yang menilai kurang mengakomodir siswa berprestasi.
Kemudian pada era Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, persentase tersebut pun berubah. Kuota PPDB zonasi menjadi minimal 50 persen dari jumlah kuota, sisanya 50 persen lagi berasal dari jalur prestasi, pindahan, maupun afirmasi.
Penerapan penerimaan peserta didik berbasiskan zonasi sebenarnya tidak hanya dilakukan di Indonesia. Sejumlah negara seperti Jepang juga melakukan penerimaan peserta didik berbasiskan jarak rumah dan sekolah.
Tidak hanya Jepang, Singapura juga menerapkan hal serupa. Warga negara maupun penduduk tetap di negara itu diarahkan untuk masuk ke sekolah yang jaraknya dekat dari tempat tinggal.
Akal-akalan
Betapapun mulianya suatu kebijakan, tapi bagi yang ingin mengakali kebijakan itu selalu saja bisa menemukan celah.
Untuk mengakali PPDB zonasi, orang tua yang rumahnya jauh dari sekolah negeri yang diinginkan berusaha menumpangkan anaknya dalam kartu keluarga saudara atau teman yang tempat tinggalnya dekat dari sekolah.
Ada juga orang tua yang demi anaknya bisa diterima di sekolah negeri rela melakukan akal-akalan dari sisi prestasi.
Seorang wali murid yang enggan disebutkan namanya, mengatakan surat keterangan berprestasi bisa diperjualbelikan dengan biaya hanya ratusan ribu rupiah saja, terutama surat keterangan prestasi nonakademik.
Lalu apa sebabnya terjadi kekisruhan pada setiap PPDB? Salah satu penyebabnya keterbatasan jumlah sekolah negeri terutama pada jenjang pendidikan menengah.
Jumlah sekolah negeri di bawah Kemendikbudristek pada 2022, untuk jenjang SD sebanyak 130.042 unit dan sekolah swasta sebanyak 18.933 unit. Untuk jenjang SMP, jumlah SMP negeri sebanyak 23.864 unit dan SMP swasta sebanyak 18.122 unit.
Jumlah SMK negeri sebanyak 3.692 unit dan SMK swasta sebanyak 10.573 unit. Sedangkan SMA negeri berdasarkan data Statistik Pendidikan Indonesia (2020) sebanyak 6.878 unit, dan swasta sebanyak 7.061 unit.
Ketidakseimbangan antara jumlah siswa yang lulus dan kapasitas sekolah negeri yang tersedia membuat kekisruhan selalu terjadi setiap PPDB.
Berbeda dengan sekolah dasar yang mana para orang tua cenderung memasukkan anaknya di sekolah swasta, pada jenjang sekolah menengah, banyak orang tua yang memilih menyekolahkan anaknya di sekolah negeri karena kualitasnya bisa diandalkan dan biayanya murah.
Begitu juga untuk jenjang sekolah menengah atas, banyak orang tua memasukkan anaknya di sekolah negeri karena alasan kuota sekolah yang lebih besar pada jalur masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN).
Mengingat berbagai persoalan yang selalu membayangi tujuan mulia PPDB zonasi, pemerintah daerah perlu mengambil langkah tegas dengan menyelesaikan akar persoalan.
Langkah tersebut bisa dilakukan melalui kolaborasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk mengatasi para penumpang kartu keluarga, dan menggencarkan revolusi mental untuk mengatasi jual beli surat ketetangan prestasi atau surat apapun yang seharusnya tidak boleh diperjualbelikan.
Selain itu pemerintah daerah juga bisa menambah kapasitas sekolah negeri, khususnya pada jenjang sekolah menengah.
Pengawasan yang ketat juga diperlukan dalam upaya mengakhiri "cerita lama", sehingga PPDB bisa berjalan mulus dan berkeadilan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Salah kaprah PPDB berbasis zonasi