Pada awal penerapan PPDB zonasi, sekolah harus menerima paling sedikit sebesar 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Sebanyak 90 persen tersebut adalah peserta didik yang tempat tinggalnya masuk dalam zonasi sekolah.
Pemerintah yang menerapkan radius zona terdekat. Kemudian sisanya sebanyak 10 persen digunakan untuk PPDB melalui jalur prestasi, pindahan, maupun afirmasi.
Namun persentase tersebut diprotes para orang tua, yang menilai kurang mengakomodir siswa berprestasi.
Kemudian pada era Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, persentase tersebut pun berubah. Kuota PPDB zonasi menjadi minimal 50 persen dari jumlah kuota, sisanya 50 persen lagi berasal dari jalur prestasi, pindahan, maupun afirmasi.
Penerapan penerimaan peserta didik berbasiskan zonasi sebenarnya tidak hanya dilakukan di Indonesia. Sejumlah negara seperti Jepang juga melakukan penerimaan peserta didik berbasiskan jarak rumah dan sekolah.
Tidak hanya Jepang, Singapura juga menerapkan hal serupa. Warga negara maupun penduduk tetap di negara itu diarahkan untuk masuk ke sekolah yang jaraknya dekat dari tempat tinggal.
Akal-akalan
Betapapun mulianya suatu kebijakan, tapi bagi yang ingin mengakali kebijakan itu selalu saja bisa menemukan celah.
Untuk mengakali PPDB zonasi, orang tua yang rumahnya jauh dari sekolah negeri yang diinginkan berusaha menumpangkan anaknya dalam kartu keluarga saudara atau teman yang tempat tinggalnya dekat dari sekolah.