“Mereka menyatakan tidak menjadi bagian dari mosi dan tetap mendukung kepemimpinan yang sah, di antaranya Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, DKI Jakarta, Jambi, Lampung, Kepulauan Riau, Papua Selatan, Papua Barat Daya, dan Kabupaten Bau-bau (Sulawesi Tenggara), sedangkan DIY dan Nusa Tenggara Timur itu bukan dihadiri ketua dan merupakan pernyataan pribadi,” kata Wijaya.
Dalam organisasi tersebut, juga tidak mengenal istilah mosi. Menurut Wijaya, hal itu merupakan dinamika kontestasi politik menjelang Kongres XXIII PGRI dan menunjukkan tanda ketidaksabaran dari oknum-oknum yang ingin tampil bersaing dalam suksesi kepemimpinan PGRI.
Kemudian terkait pernyataan Tim Sembilan, lanjut Wijaya, hal itu merupakan bentuk indisipliner organisasi dan tidak mematuhi mekanisme organisasi yang berlaku. Sebagian besar bagian dari Tim Sembilan adalah mereka yang jarang dan hampir tidak pernah hadir dalam rapat-rapat pleno dan forum-forum kegiatan resmi organisasi.
“Kami meminta pengurus daerah tetap tenang dan mematuhi mekanisme organisasi yang berlaku dan segera melakukan langkah konsolidasi menyatukan langkah sikap untuk melawan segala manuver kelompok-kelompok yang akan meruntuhkan wibawa organisasi,” kata Wijaya.
Sejatinya, sebagai organisasi guru terbesar dan tertua di Indonesia, para pengurus PGRI tidak disibukkan dengan berbagai konflik internal. Akan tetapi hendaknya fokus pada berbagai persoalan guru, mulai dari persoalan kesejahteraan guru honorer, distribusi guru yang belum merata, hingga permasalahan kompetensi pendidik. Jangan sampai kisruh tersebut, membuat ratusan ribu guru honorer meratapi nasibnya yang masih jauh dari kata sejahtera.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: PGRI dan kisruh internal jelang kongres