Jakarta (ANTARA) - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa diperkirakan bergerak mendatar di tengah pelaku pasar mencermati hasil kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS).
IHSG dibuka menguat 10,81 poin atau 0,13 persen ke posisi 8.656,65. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 1,13 poin atau 0,13 persen ke posisi 858,59.
“Isu ini (kesepakatan RI-AS) menjadi penting di tengah kabar potensi penghentian kesepakatan yang ditandatangani Juli 2025,” sebut Tim Riset Lotus Andalan Sekuritas dalam kajiannya di Jakarta, Selasa.
Dari dalam negeri, fokus utama pelaku pasar tertuju pada konferensi pers kesepakatan dagang Indonesia dan AS, yang mana krusial terhadap prospek tarif ekspor, investasi, lapangan kerja, serta pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada Selasa (23/12) pagi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menggelar ”Konferensi Pers terkait Perkembangan Kesepakatan Perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat”, yang mana pada hari sebelumnya Airlangga telah melakukan kunjungan ke AS.
Di sisi lain, nilai tukar (kurs) rupiah berada di posisi terlemah dalam hampir delapan bulan terakhir, seiring fokus pelaku pasar yang tertuju terhadap rilis data Produk Domestik Bruot (PDB) AS dan ekspektasi arah kebijakan suku bunga acuan The Fed.
Ke depan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memproyeksikan rupiah pada 2026 bergerak lebih lemah dibandingkan 2025, dipengaruhi oleh dinamika global dan potensi arus modal kembali ke AS.
Dari mancanegara, pelaku pasar menantikan rilis data penting seperti PDB AS, kepercayaan konsumen, serta klaim pengangguran untuk membaca arah ekonomi dan kebijakan The Fed ke depan.
Sorotan pelaku pasar tertuju pada rilis final GDP AS kuartal III-2025 yang diproyeksikan melambat ke level 3,2 persen. Perlambatan ini justru dipandang positif karena menguatkan skenario soft landing, yang mana ekonomi AS tetap tumbuh tanpa memicu inflasi tinggi, sehingga membuka ruang bagi The Fed untuk melanjutkan pemangkasan suku bunga.
Dari kawasan Asia, bank sentral China (PBoC) kembali menahan suku bunga Loan Prime Rate (LPR), yang menandakan stimulus moneter masih ditahan meski data ekonomi terbaru menunjukkan perlambatan konsumsi, produksi, dan melemahnya permintaan kredit akibat krisis properti yang berlarut.
