Jakarta (ANTARA) - Organisasi guru tertua dan terbesar di Tanah Air, yakni Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), mengalami goncangan. Pasalnya pada pertengahan Juni, sebanyak 18 perwakilan kabupaten/kota melayangkan mosi tidak percaya terhadap Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Prof Unifah Rosyidi.
Kabar tersebut tentu saja mengejutkan karena selama beberapa tahun terakhir, tidak ada konflik internal yang muncul ke permukaan.
Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi mengaku prihatin dan tak menyangka akan munculnya mosi tidak percaya tersebut. Apalagi mosi tersebut hadir saat dirinya dan organisasi tersebut sedang memperjuangkan nasib para honorer.
“Kami prihatin, karena kami sedang berupaya membela nasib guru honorer. Kami tidak mengerti, karena kami sedang baik-baik saja,” ujar Unifah di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, sebanyak 18 perwakilan PGRI dari berbagai provinsi melayangkan mosi tidak percaya kepada Ketua Umum PB PGRI dan mendorong perbaikan kinerja organisasi. Tujuannya untuk menyelamatkan muruah dan martabat PGRI.
Wakil Ketua PGRI Nusa Tenggara Barat Abdul Kadir mengatakan pihaknya berupaya mengembalikan maruah PGRI secara komperehensif karena saat ini organisasi tersebut tidak dalam kondisi baik-baik saja.
Sejumlah sektor didorong untuk dibenahi, mulai dari implementasi konstitusi PGRI, tata kelola keuangan dan aset, serta kepemimpinan. Dalam kesempatan itu, Abdul Kadir meminta agar Unifah Rosyidi mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PB PGRI.
"Setelah mosi tidak percaya disampaikan, kami siap menjalankan mekanisme organisasi. Kami ingin menyelamatkan muruah organisasi. Ada forum lain, rapat pimpinan nasional yang sesuai dengan jenjangnya,” kata Abdul Kadir.
Tak hanya itu, dorongan serupa juga disampaikan oleh pihak yang menamakan diri Tim Sembilan yang terdiri dari sejumlah personel PB PGRI, di antaranya Ketua PB PGRI Huzaifa Dadang, Ketua PB PGRI Achmad Wahyudi, Sekjen PB PGRI Ali Arahim, dan lainnya.
Dalam pernyataannya, Huzaifa mengaku prihatin dengan kemelut yang terjadi pada internal PGRI yang mengakibatkan soliditas kepengurusan di tingkat pusat dan daerah menjadi tidak harmonis.