Wanita itu bercerita sudah 30 tahun lamanya bekerja di Batik Trusmi, usai berhenti dari bangku sekolah dasar. Untungnya ia sudah mengantongi bakat membatik dari ibunya, sehingga pekerjaan itu tak sulit untuk dilakukan.
Pembatik bernama Linda ikut menambahkan per harinya ia sanggup mengerjakan lima sampai enam kain menggunakan cap. Meski baru merasakan bekerja selama setahun, kecintaannya pada batik sudah tumbuh sejak kecil.
Linda mengatakan setiap pulang sekolah, dibandingkan bermain, seperti anak-anak seusianya, ia memilih menemani sang ibu membatik sambil mempelajari pola demi pola.
Kecintaan pembatik lokal pada salah satu warisan budaya tak benda milik Indonesia yang diakui UNESCO itu, membuat Desa Trusmi masih lestari dan hidup berdampingan bersama kelompok masyarakat lainnya. Sambil mempelajari batik, tidak ada salahnya kalau pemudik mampir mengunjungi desa sambil mengucap doa untuk para leluhur desa yang dimakamkan di sana.
Menelusuri budaya sendiri memang lebih mengasyikkan jika dipelajari sambil bermain bersama keluarga. Tidak ada salahnya selain bersilaturahim melepas rindu, kita mengagendakan sebuah aktivitas yang tak biasa dengan mengajak keluarga untuk mendalami pengetahuan kebangsaan bersama-sama karena budaya, selalu mempunyai cara untuk memperkuat dan menyatukan setiap perbedaan yang ada.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Wisata batik yang luput dari pemudik di Jalur Pantura