Kekerasan itu tidak mesti berupa tindakan fisik, melainkan juga psikis, dengan memperlakukan hukuman pada yunior yang dinilai melanggar. Misalnya, si yunior dihukum dengan simbol-simbol atau tanda tertentu pada pakaiannya, sehingga mudah terbaca oleh seluruh warga pondok bahwa santri dengan simbol di pakaiannya itu telah melanggar aturan.
Praktik penghukuman seperti ini secara kejiwaan tergolong tidak sehat karena mempermalukan anak di depan umum. Hukuman seperti itu menggores luka batin bagi santri dan kelak akan menghambat pengembangan potensi si santri yunior. Selain itu, sangat mungkin si santri yunior itu menyimpan "dendam" untuk dilampiaskan kelak ketika dia sudah beralih status, dari yunior ke senior.
Karena itu, diperlukan penyiapan yang matang bagi seorang senior sebelum diberi tanggung jawab membina yunior-yuniornya. Diperlukan pemberkalan mengenai ilmu psikologi yang cukup kepada para senior bagaimana memperlakukan para yuniornya. Selain itu, diperlukan pengawasan ketat oleh dewan pengasuh dan para ustadz terhadap para senior ini dalam memperlakukan yuniornya.
Bahkan, mungkin perlu juga dibentuk lembaga semacam "provost" yang ada di lingkungan tentara, untuk mengawasi perilaku si senior. Dengan pola seperti ini, maka berlaku pengawasan berjenjang, sehingga bisa meminimalkan adanya penyimpangan "kekuasaan" atas nama senioritas di lingkungan pondok.
Pesantren besar
Tanpa mengurangi rasa hormat dan bela sungkawa serta empati pada keluarga almarhum Albar Mahdi yang menjadi korban kekerasan seniornya, semua mengakui bahwa Pondok Modern Gontor adalah lembaga besar yang sumbangsihnya bagi pengembangan sumber daya manusia di negeri sangat luar biasa.
Spektrum - Pola pengasuhan sebaya dan meninggalnya santri Pesantren Gontor
Oleh Masuki M. Astro Rabu, 7 September 2022 20:02 WIB