Cirebon (ANTARA) - Nampaknya pandemi COVID-19 tidak bisa menghentikan rasa keingintahuan pemudik untuk berkeliling dan merasakan makanan lokal yang khas dari sebuah daerah yang disinggahi.
Berbicara mengenai makanan lokal, memang sangat menarik dan asyik bila dirasakan bersama keluarga atau teman dekat. Makanan yang disajikan dengan memanfaatkan bahan lokal terbaik, mampu menghasilkan cita rasa khas dan membuat hati menjadi hangat.
Baca juga: KAI Cirebon: Okupansi tempat duduk capai 95 persen pada tanggal favorit
Contoh saja Empal Gentong milik Haji Apud. Siapa yang tidak mengenal makanan hasil perpaduan gurihnya santan dan empuknya daging sapi lokal pilihan ini.
Memasuki tiga tahun masa pandemi COVID-19, masih lekat dia di hati para pemudik.
“Saya singgah di Cirebon untuk mudik sambil berbuka puasa. Kebetulan nih, teman saya yang rekomendasiin. Wajib coba Empal Gentong katanya,” ujar Ahmad (32) salah satu pemudik dari Cikarang, Bekasi.
Rumah bagi primadona Cirebon itu pada mulanya berdiri atas dasar ketertarikan sang pemilik, Haji Apud pada Empal Gentong saja. Ketertarikannya, berhasil membujuk hati kecilnya untuk membuka sebuah usaha dengan memanfaatkan fasilitas seadanya.
Mulai didirikan pada tahun 1994, Empal Gentong Haji Apud dijual hanya dengan menggunakan satu gerobak dan satu kursi saja. Sederhana memang, tapi cita rasanya mampu diacungi lima jempol sekaligus.
Baca juga: Polres Cirebon tutup putar balik kendaraan Jalur Pantura
Tahun demi tahun, dari gerobak kecil, Haji Apud berhasil mengembangkan usahanya dalam skala yang lebih besar. Dia mendirikan sebuah tempat di sepetak tanah yang dimiliki dan terus tumbuh besar hingga sekarang.
Pengelolanya di masa ini, Nia Kenia mengatakan cita rasa dari makanan mereka dapat berbeda dari yang lain karena adanya peran daging sapi lokal yang berasal dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di wilayahnya.
Daging-daging yang kenyal dan empuk tanpa impor itu, dimasak oleh pihaknya saat itu juga. Satu kwintal daging datang pada hari-hari biasa, sedangkan dua hingga dua setengah kwintal daging datang pada hari libur seperti saat mudik.
Tidak ada kata daging beku, ucap Nia. Semua daging yang datang, harus langsung diolah dan habis hari itu juga.
Bagi pemudik yang singgah, mungkin sudah bisa menebak seperti apa rasanya.
Daging yang dipotong dalam bentuk dadu berukuran kecil, direndam bersama kuah santan berwarna kekuningan yang gurih dan panas.
Baca juga: Polresta Cirebon kerahkan tiga tim urai antisipasi kemacetan arus mudik
Visualnya juga semakin memikat mata setelah ditaburi hijaunya irisan daun bawang.
Belum lengkap rasanya bila tidak dikunyah bersama garingnya kerupuk. Bagi pecinta pedas, bubuk cabai dalam mangkuk kecil berwarna merah dapat membantu untuk mendapatkan rasa sedap yang lebih menggugah selera.
Satu mangkuk Empal Gentong di tempat itu dihargai Rp25 ribu saja. Namun, sepertinya akan kurang nikmat bila tidak ditemani dengan manis dan lezatnya sate kambing muda yang dihargai Rp60 ribu atau sate sapi seharga Rp70 ribu.
Tak lekang waktu
Pandemi COVID-19 memang memberikan pukulan besar bagi semua orang tanpa terkecuali. Empal Gentong milik Haji Apud ini memang sempat tutup akibat sepi pembeli.
Di bulan Ramadhan, mereka bahkan hanya mampu buka dari pukul 09.00 hingga 21.00 WIB saja.
Namun nampaknya tidak dengan tahun ini. ANTARA di lokasi melihat, banyak pemudik yang memenuhi tempat makan itu sambil menikmati Empal Gentong.
Bersama keluarga mereka menikmati cita rasa khas itu meski di luar jalan lalu lalang kendaraan berseru kencang.
Ramai menjadi kata yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi Empal Gentong Haji Apud. Sebanyak 75 karyawan di sana nampak sibuk mondar mandir mencatat pesanan. Makanan terus keluar tanpa jeda baik bagi pengunjung yang datang di bangku bagian depan teras ataupun di dalam.
Keramaian itu pulalah yang akhirnya membuat mereka kembali buka mulai dari pukul 11.00 sampai 21.30 WIB. Ini adalah bukti, Empal Gentong masih jadi primadona pemudik.
Rasa penasaran dari bisikan orang-orang, mendorong mereka untuk tetap singgah di Kota Cirebon meski COVID-19 masih berkeliaran mencari mangsa di sekeliling kita.
Bicara mengenai rasa penasaran karena bisikan tersebut, seorang pejuang mudik lain, Ahmad Mukhlisin (26) mengaku tetap ingin merasakan Empal Gentong, meski baru tiba di Cirebon pada saat langit sudah gelap.
“Rasanya mudik itu beda, habis puasa kita pengen makan dan menghajar mau puas-puasin makan makanan yang enak, terus saya tahu. Empal Gentong rekomendasinya,” ujar dia sambil mengunyah makanan di mulutnya.
Ahmad takjub, kuah yang dirasakannya benar-benar sesuai apa yang dikatakan oleh masyarakat. Letihnya terbayarkan dengan Empal Gentong khas Kota Cirebon. Dinikmatinya makanan itu bersama kerupuk dan satu gelas es teh manis bersama teman-temannya.
Nia yang juga sependapat dengan Ahmad dan Agus, karena rasanya yang khas dan benar-benar terkenal, pihaknya itu sampai membuat inovasi menaruh Empal Gentong dalam kemasan kaleng supaya pemudik baik dalam negeri maupun luar negeri bisa tetap merasakannya, meski kemasan itu memiliki batas kedaluwarsa selama satu tahun.
Nia dengan bangga ikut mengakui, Empal Gentong bukan hanya sekadar bisikan enak saja. Empal Gentong adalah harta karun Kota Cirebon yang harus dinikmati apabila singgah ke kota yang memiliki julukan Kota Udang tersebut.
“Silakan coba Empal Gentong khas Cirebon. Kalau ke Cirebon, enggak ‘nendang’ rasanya kalau enggak coba Empal Gentong,” ajak Nia.
Baca juga: Pengelola Goa Sunyaragi Cirebon buka tempat istirahat untuk pemudik