Jakarta (ANTARA) - Humas pemerintah (Government PR) secara fungsional menjalankan peran komunikasi pemerintah, oleh karena itu, ia melekat dan menjalankan fungsi strategis kepemimpinan. Potensinya sangat besar, karena di setiap instansi pemerintah pasti ada humasnya yang sekaligus sebagai ujung tombak.
Masalahnya adalah cara-cara komunikasi strategis yang dilakukan humas saat ini, tidak lagi bisa mengandalkan cara-cara lama, seperti konferensi pers, media relations, kunjungan media, dan rilis pers. Kenapa demikian?
Pertama, perilaku masyarakat dalam berkomunikasi mengalami revolusi. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, masyarakat tidak lagi mengandalkan media lama. Arena komunikasi masyarakat telah pindah lokasi ke Youtube, Whatshapp, Facebook, Instagram dan Twitter.
Kedua, konsep agenda setting yang terkait dengan kekuatan media lama menstruktur kognisi masyarakat, tidak lagi menjadi acuan. Sebagai gantinya, viral dan trending topik di media sosial (medsos) menjadi parameter bagi prioritas agenda media dan proses pembentukan opini serta perubahan pengetahuan.
Ketiga, arena kontestasi komunikasi, apakah bentuknya sebagai oposisi, kritik, dan aspirasi-sosialisasi telah beralih ke dalam penggunaan medsos. Kondisi ini berdampak langsung kepada pemerintah. Citra pemerintah dan kepercayaan masyarakat banyak ditentukan oleh kontestasi di dalam pemanfaatan media baru.
Tantangan komunikasi yang dihadapinya pun, jauh lebih kompleks, berjejalin dan berkecepatan. Belum lagi dari sisi kontestasi narasi. Catatan yang dimiliki Kominfo, terungkap dalam tiga tahun terakhir, ada lebih dari 2,6 juta konten negatif.
Ditambah dengan kenyataan bahwa setiap kebijakan dan program pemerintah sering menjadi sasaran kritik, olok-olok, dan satire melalui meme, podcast, parodi, dan sindirian. Sementara Humas Pemerintah barangkali belum bergerak satu langkah ke depan dalam memproduksi konten-konten positif terkait dengan kebijakan dan program pemerintah.
Nah, apa arti dari semua itu? Hakikatnya adalah jika Humas tidak bermigrasi atas cara kerja lama, sebenarnya mereka bekerja pada arena bisu dan kosong. Akibatnya, jangan berharap apa yang mereka kerjakan mampu meredam keriuhan dan kegaduhan atas kebijakan dan program pemerintah, apalagi membendungnya. Jangankan berbicara tentang citra dan opini positif terhadap pemerintah, konten-kontennya saja barangkali tidak diketahui.
Akibatnya, citra dan indeks kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi kedodoran. Sebab, fungsi komunikasi strategis pemerintah yang melekat sebagai fungsi kepemimpinan bekerja pada ruang dan tujuan yang terisolasi. Untuk itu, reorientasi dan redefinisi terhadap cara kerja Humas pemerintah menjadi keharusan.
Kita melihat ada kekuatan komunikasi dari perubahan cara pandang dan cara kerja humas pemerintah. Ada fleksibilitas dan otonomi, tetapi juga menuntut kreativitas terus menerus. Fleksibilitas dan otonomi terjadi karena memudarnya tingkat ketergantungan pada cara-cara lama yang usang. Sedangkan kreativitas dijalankan berdasarkan pada karakteristik media sosial yang dikelola.
Mau tidak mau, atas perubahan ini, Humas pemerintah mesti up-grade terhadap kompetensi profesionalnya. Pertama, semua pranata Humas pemerintah mesti mengembangkan komunikasi pemerintah berdasarkan kepentingan publik dengan cara-cara milenial.
Telaah - Humas Pemerintah mesti mawas diri di era medsos
Kamis, 9 Desember 2021 10:21 WIB