Bogor (ANTARA) - Rektor IPB University Prof Dr Arif Satria mengatakan perubahan iklim, revolusi Industri 4.0, dan pandemi COVID-19, telah melahirkan model ekonomi baru sebagai respons terhadap ketiga disrupsi besar yang tengah dihadapi dunia.
Arif Satria saat menyampaikan pidato peringatan Dies Natalis ke-58 IPB University yang disiarkan secara daring dari Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu, menegaskan arus perubahan yang luar biasa telah menuntut manusia untuk mampu merespons.
Perubahan iklim, misalnya, kata dia, mendorong manusia untuk lebih peduli pada alam dan lingkungan karena dampaknya telah dirasakan oleh semua orang. Perubahan iklim tak hanya berdampak pada lingkungan dengan munculnya bencana alam, seperti banjir dan kekeringan, tapi juga menimbulkan krisis energi dan air bersih.
Disrupsi akibat adanya perubahan iklim ini, lanjut dia, memunculkan apa yang disebut dengan ekonomi hijau (pertanian) dan ekonomi biru (kelautan).
Revolusi industri yang dipicu oleh kemajuan teknologi telah berdampak pada cara hidup dan perilaku manusia, katanya.
Manusia dituntut untuk mampu merespons kemajuan teknologi yang menawarkan kecepatan dan efisiensi dengan mengembangkan kemampuan baru di bidang Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), dan sebagainya.
Menurut Arif, revolusi industri juga berdampak pada revolusi biologi dan kini sudah menjadi sebuah keniscayaan.
Dulu biologi jadi sesuatu yang mandiri dan independen, tapi saat ini biologi harus berkolaborasi dengan teknologi informasi, kata Arif.
"Kalau sekarang kita bisa menyimpan data di cloud, hard disk, ke depan kita bisa menyimpan data di DNA," kata dia.
IPB University, kata Arif, telah merespons revolusi industri di bidang biologi dengan sejumlah penemuan, salah satunya adalah sel punca untuk memperlambat penuaan (stem cell for anti-aging)
Revolusi industri telah melahirkan model ekonomi berbagi (sharing economy) atau ekonomi digital.
Belum selesai dengan perubahan iklim dan revolusi Industri 4.0, dunia kemudian dihadapkan pada disrupsi lain, yaitu pandemi COVID-19.
Pandemi telah mengubah banyak hal, katanya, mulai dari cara hidup, belajar atau bekerja, hingga dampaknya terhadap ekonomi dan ekologi.
Meski di satu sisi memberi dampak negatif terhadap ekologi seperti meningkatnya kebutuhan air dan listrik, pandemi juga membawa dampak positif bagi lingkungan seperti menurunkan emisi CO2.
Disrupsi pandemi, menurut Arif, memunculkan model ekonomi baru yang disebut new normal economy.
"IPB berusaha untuk memformulasikan apa yang disebut dengan new normal economy," kata dia.
Model ekonomi normal baru merupakan gabungan dari ekonomi hijau/biru, ekonomi digital, dan model ekonomi yang lahir sebagai respons atas munculnya pandemi.
Ekonomi normal baru memiliki sejumlah karakteristik, di antaranya fokus pada agromaritim, menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan baru, dan perilaku manusia yang sehat dan hijau untuk mendukung konsumsi yang berkelanjutan.
Agromaritim perlu dikembangkan sebagai respons terhadap tuntutan kemandirian pangan.
Selama pandemi, kata dia, sejumlah negara menahan stok pangan mereka sehingga kemandirian pangan menjadi keniscayaan.
Kontribusi desa dalam ekonomi perlu ditingkatkan, kata Arif, karena banyak negara dengan produk domestik bruto yang tinggi sebagian besar penduduknya tinggal di wilayah perdesaan.
"Artinya, desa telah menjadi sumber pertumbuhan baru di hampir semua negara maju," ujar Arif.
Baca juga: Kebutuhan RI atasi perubahan iklim capai Rp3.461 triliun, kata Sri Mulyani
Baca juga: UI mendukung tercapainya transformasi Indonesia menuju ekonomi hijau
Baca juga: 10 kota termasuk Cirebon tanda tangani komitmen perubahan iklim