Masyarakat mengenalnya dengan nama jamur merang karena bahan yang digunakan untuk menumbuhkan jamur tersebut adalah merang, yaitu limbah padi atau jerami.
Bagaimana kalau media untuk produksi tersebut diganti dengan kardus, apakan jamur tersebut disebut jamur kardus?
Walaupun jamur kardus telah beredar luar di pasar, rupanya, orang tetap menyebutnya dengan jamur merang karena secara fisik dan rasa tak ada beda antara jamur yang dikembangkan di merang dengan yang dikembangkan di kardus.
Benih jamur merang, pada prinsipnya memang bisa tumbuh di berbagai media, bisa di merang, ampas tebu, enceng gondok, alang-alang, klaras pisang, dan limbah pertanian yang lain, kata Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Enjo Suprapto.
Enjo pula yang menggagas menggunakan kardus sebagai tempat tumbuh jamur.
Pengarang buku "Budidaya Jamur dengan Media Kardus" tersebut menceritakan, awal 1980-an petani di Losari, Kabupaten Cirebon, Jabar, sudah biasa membudidayakan jamur dengan media merang.
Ketika budidaya jamur merang sudah memasyarakat, mereka mendapti kenyataan bahwa produksi jamur terhenti ketika merang habis terpakai. Keberadaan merang memang mengikuti masa panen padi.
Maka, muncul ide untuk mencari bahan lain, yang antara lain juga menjajal kardus sebagai pengganti merang.
Setelah melalui beberapa kali percobaan disimpulkan bahwa kardus yang sudah diprores secara singkat lebih efisien untuk dijadikan media produksi jamur tersebut.
Keuntungannya, selain mudah didapat sepanjang tahun, tidak bergantung pada musim seperti merang, prosesenya lebih pendek dan hanya memerlukan perendaman dengan air kapur selama lima hari.
Sedangkan media lain, seperti enceng gondok, ampas tebu, klaras pisang dan alang-alang harus dikomposkan selama 10 hari. Jika media lain memerlukan pasteurisasi agar steril, kardus tidak memerlukan hal itu.
Budidaya jamur tidak memerlukan lahan yang luas karena dengan mendirikan pondok bambu yang disebut kumbung berukuran 4x6 meter sudah bisa memproduksi jamur media kardus.
Luasan tersebut sudah termasuk skala bisnis.
"Perhitungannya, setiap meter kumbung memerlukan sekitar 20 kilogram kardus. Berdasarkan pengalaman hasil produksi yang baik bisa menghasilkan antara tujuh dan delapan kilogram jamur untuk luas per meterpersegi kumbung," katanya.
Karena tidak memerlukan lahan luas, maka budidaya tersebut sangat cocok bagi petani di perkotaan yang tidak terlalu padat, sedangkan bahan kardus tersedia berlimpah.
Enjo menyebutkan, kunci keberhasilan budidaya jamur dengan media kardus, yakni sumber daya manusia yang terampil, penggunaan bibit unggul, sanitasi yang bersih, pemupukan dan pasteurisasi.
Petani jamur harus terampil, paling tidak melalui pelatihan singkat, cukup satu hari mempelajari teori dan sekaligus praktek.
"Kalau ada yang mau kami bisa melaksanakan pelatihan sehari dengan tarip Rp 300 ribu per orang," katanya.
Bibit unggul yang sekarang disediakan di Kelompok Tani Cirebon sudah menyebar ke Medan, Aceh, Sulawesi, dan Kalimantan.
Menurut Enjo, sanitasi lingkungan juga harus diperhatikan saat memelihara jamur, antara lain tidak boleh merokok saat di dalam kumbung, tidak boleh kena sinar matahari, suhu antara 28 dan 35 celcius dengan kelembaban antara 70-80 persen.
Sedangkan pemumpukan, kata dia, diperlukan pada waktu perendaman media dengan pupuk anorganik dan saat sudah ditanam disemprot dengan pupuk organik.
Ia memperkenalkan jamur dengan media kardus tersebut dengan menyusun sebuah buku berjudul "Budidaya Jamur dengan Media Kardus."
Buku tersebut termasuk "best seller," karena dengan cetakan keduanya kini sulit didapat di toko buku.
"Saya sediri sedang menyiapkan untuk edisi ketiga buku dengan judul yang sama," katanya.
Menurut dia, dengan membaca buku tersebut, banyak petani jamur terbantu.
Kini, kata dia, banyak petani dari Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi datang kepadanya.
Kedatangan mereka untuk berlatih dan sekaligus membawa bibit.
Bibit dalam kemasan botol plastik kira-kira seperempat kilogram tersebut kini rutin dikirim ke sejumlah daerah.
"Kami menyediakan bibit sekitar 2000 botol per bulan," kata Enjo.
Menurut dia, di Kota Cirebon pada awalnya sudah terbentuk 48 kelompok tani, setiap kelompok 10 orang, tetapi kini tinggal enam kelompok. Merosotnya kelompok tani tersebut karena kurang modal, sedangkan untuk petani yang baru harus melalui pelatihan terlebih dahulu.
Enam kelompok tersebut merupakan petani mandiri, sedangkan sebelumnya puluhan kelompok lainnya yang tidak aktif merupakan petani tidak tetap,
Dia mengatakan, dari enam kelompok tani tersebut diproduksi sekitar dua kwintal jamur per hari.
"Produksi tersebut sebenarnya masih kurang untuk Kota Cirebon yang berpenduduk sekitar 300 ribu jiwa," katanya.
Enjo mengatakan, ada keyakinan petani jamur dengan media kardus itu bakal terus bertambah, terutama setelah buku karangannya terbit dan harga jamur di tingkat petani yang bagus.
(T.Y003/B/s018/s018) 27-05-2010 10:04:31