Jakarta (ANTARA) - Usulan pembahasan kenaikan gaji pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengemuka setelah adanya rapat melalui video conference (vicon) pada 29 Mei 2020 lalu antara KPK dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Adapun usulan kenaikan gaji pimpinan KPK disampaikan saat periode pimpinan KPK jilid IV atau era Agus Rahardjo dan kawan-kawan pada Juli 2019. Usulan kenaikan gaji tersebut sebesar Rp300 juta dari sebelumnya sekitar Rp123 juta.
Hal tersebut membuat Indonesia Corruption Watch (ICW) kembali mengkritik adanya pembahasan usulan kenaikan gaji pimpinan KPK.
Bahkan, ICW menyebut KPK telah membohongi publik sebab pada awal April 2020 seluruh pimpinan KPK telah meminta agar pembahasan kenaikan gaji itu dibatalkan.
ICW menilai usulan kenaikan gaji tersebut sebenarnya tidak pantas untuk dibahas di tengah situasi Indonesia yang sedang menghadapi wabah COVID-19.
KPK pun segera mengklarifikasi adanya pembahasan dengan Kemenkumham tersebut.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (9/6) mengatakan pada dasarnya KPK tidak mengambil inisiatif untuk melakukan pertemuan tersebut. Tim di Kesetjenan KPK mengikuti rapat melalui vicon pada 29 Mei 2020 tersebut untuk memenuhi undangan dari Kemenkumham sebelumnya.
Undangan rapat koordinasi penyusunan rancangan Peraturan Pemerintah (PP) tersebut tertanggal 22 Mei 2020 dan ditujukan pada unsur KPK, yaitu Sekjen, Karo Hukum dan Karo SDM.
KPK beralasan untuk menghormati undangan itu maka hadir dan menyampaikan arahan pimpinan bahwa pembahasan usulan kenaikan gaji pimpinan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah apakah akan dilanjutkan kembali penyusunannya.
Terdapat beberapa poin yang dibahas di dalam rapat tersebut.
Pertama, surat dari Kemenkumham kepada Kemenpan RB masih menggunakan nomenklatur rancangan PP Perubahan sehingga rancangan PP tersebut akan menjadi rancangan PP Penggantian.
Kedua, terkait draf rancangan PP Penggantian tersebut belum ada kajian akademis mengenai jumlah besarannya.
Ketiga, kajian akademik akan segera diserahkan kepada Kemenkumham agar bisa ditindaklanjuti dengan permintaan penilaian kepada Kemenpan RB.
Sepakat dihentikan
Untuk diketahui, pada awal April 2020, pimpinan KPK telah menyepakati agar proses pembahasan rancangan PP terkait hak keuangan pimpinan KPK yang sedang berjalan di Kemenkumham dihentikan.
Hal itu perlu dilakukan sebagai sikap KPK agar semua pihak fokus pada penanganan pandemi COVID-19.
Sebelumnya, usulan hak keuangan pimpinan melalui perubahan PP Nomor 82 Tahun 2015 telah disampaikan kepada pemerintah melalui Kemenkumham oleh pimpinan KPK jilid IV pada 15 Juli 2019.
Salah satu pertimbangannya adalah keseimbangan dengan pimpinan lembaga negara lainnya seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) yang menjadi rujukan.
Selanjutnya pada September 2019, KPK meminta pihak eksternal untuk melakukan kajian agar lebih objektif, termasuk dengan tetap melihat keseimbangan dengan penghasilan pejabat di instansi lain.
Adapun pada periode pimpinan saat ini pembahasan dilakukan sekitar Februari 2020 atas undangan Kemenkumham.
KPK Jilid IV
Sementara itu, dua mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi jilid IV Agus Rahardjo dan Saut Situmorang pun telah menjelaskan perihal polemik kenaikan gaji pimpinan KPK itu.
Agus melalui keterangannya pada awal April 2020 lalu membenarkan bahwa usulan kenaikan gaji terjadi pada masa jabatannya tepatnya Juli 2019. Namun, usulan tersebut bukan untuk pimpinan KPK yang saat itu sedang menjabat tetapi untuk pimpinan yang akan datang agar tetap menjaga dan meningkatkan integritasnya.
Namun, ia tetap menggarisbawahi bahwa usulan kenaikan gaji tersebut terjadi pada saat negara tidak dalam kondisi darurat seperti terjadinya wabah COVID-19 saat ini.
Oleh karena itu, ia mengharapkan polemik usulan kenaikan gaji tersebut sebaiknya jangan dibahas dahulu saat ini.
Sementara itu, Saut juga mengatakan usulan kenaikan gaji tersebut sebaiknya dilakukan setelah periode pimpinan jilid IV agar tidak terjadi konflik kepentingan.
Ia menyatakan pada awalnya usulan kenaikan gaji tersebut diperuntukkan untuk staf di lembaga antirasuah tersebut.
"Karena menaikkan gaji staf, gaji pimpinannya jadi patokan, jadi pimpinan ikut naik atau ada hitung-hitungan atau ada dasar besarannya. Jadi, saya katakan sebaiknya dinaikkan setelah kami jilid IV selesai. Perkembangannya saya tidak paham sudah seperti apa," ungkap dia.
Menurut dia, usulan tersebut bisa saja dibatalkan dahulu mengingat ada kesan berbeda yang ditangkap publik.
Selain itu, ia juga mempertanyakan apakah dengan usulan gaji yang besar tersebut, kinerja pimpinan KPK saat ini bisa lebih baik dari pimpinan sebelumnya terlebih dengan diberlakukannya UU KPK baru atau UU Nomor 19 Tahun 2019.
"Namun, ini kan ada kesan yang ditangkap publik 'begitu enaknya mau kerja enggak', itu arti lainnya. Jadi, bisa saja itu dibatalkan dulu yang kami ajukan. Jadi, sisi lain dari persoalan ini apakah dengan gaji segitu besar akan lebih baik dari pimpinan sebelumnya. Itu usulan dibuat saat UU KPK lama. Kalau tahu UU seperti sekarang, enggak ridho juga saya," ucap Saut.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2015 tentang Hak Keuangan, Kedudukan, Protokol, dan Perlindungan Keamanan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi gaji Ketua KPK mencapai Rp123 juta dan Wakil Ketua KPK sebesar Rp112 juta.
Untuk rincian gaji Ketua KPK terdiri dari gaji pokok Rp5,04 juta, tunjangan jabatan Rp24,818 juta, tunjangan kehormatan Rp2,396, tunjangan perumahan Rp37,75 juta, tunjangan transportasi Rp29,546 juta, tunjangan asuransi kesehatan dan jiwa Rp16,325 juta dan tunjangan hari tua Rp8,0635 juta.
Sementara untuk Wakil Ketua KPK rinciannya gaji pokok Rp4,62 juta, tunjangan jabatan Rp20,475 juta, tunjangan kehormatan: Rp2,134 juta, tunjangan perumahan Rp34,9 juta, tunjangan transportasi Rp27,33 juta, tunjangan asuransi kesehatan dan jiwa Rp16,325 juta dan tunjangan hari tua Rp6,8 juta.