Bandung (ANTARA) - Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) Enggartiasto Lukita mengatakan Indonesia membutuhkan cara baru dalam tata kelola pendidikan selama masa pandemi serta usai pandemi dan jangan sampai pandemi menghalangi hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan secara memadai.
"Karena itu, butuh kurikulum baru yang relevan dengan situasi kenormalan baru atau 'new normal'. Setelah pandemi berlalu, sekadar menormalkan praksis sekolah tidaklah cukup. Yang diperlukan adalah transformasi, yaitu 'desain besar' untuk mengubah sistem pendidikan secara mendasar," kata Enggar saat membuka webinar “Pendidikan Bermutu di Musim Pandemi: Tantangan dan Harapan” yang digagas IKA UPI Komisariat Provinsi Maluku, Selasa.
Enggartiasto Lukita menegaskan, visi Presiden Jokowi Widodo sudah sangat jelas menyebutkan sumber daya manusia (SDM) sebagai kunci kemajuan bangsa. Untuk mendapatkan SDM unggul, maka pendidikanlah satu-satunya yang bisa menentukan dan pendidikan menjadi penentu masa depan bangsa ini.
“Mari kita jujur. Sebelum pandemi saja kita merasakan ketertinggalan dibandingkan dengan beberapa negara lain yang maju. Apalagi sekarang kita di tengah pandemi. Karena itu, maka pembelajaran jarak jauh menjadi topik utama. Kita sedang beradaptasi dengan budaya baru dalam pembelajaran,” ungkap Enggar, sapaan Enggartiasto Lukita.
Penyandang gelar doktor kehormatan (honoris causa) bidang pendidikan kewirausahaan ini menilai Kurikulum 2013 yang begitu padat tidak mungkin itu kita terapkan selama masa pandemi. Karena itu, perlu konstruksi kurikulum yang relevan dengan situasi pandemi maupun usai pandemi.
Ini artinya, Indonesia membutuhkan kurikulum era pandemi yang adaptif dengan perubahan global tersebut.
“Ini tantangan kita semua. Dalam menerapkan pembelajaran jarak jauh ini, baku mutu, standar, tidak ada yang seragam. Ini diserahkan kepada kreativitas masing-masing guru dan sekolah. Akan terjadi kesenjangan dari satu guru dengan satu guru lain, sekolah satu dengan sekolah lain, satu kota dengan kota lain, satu provinsi dengan provinsi lain yang memang tidak dipersiapkan untuk itu. Sehingga, saya berharap dari berbagai webinar ini akan ada yang lebih. Ada sesuatu yang bisa dihasilkan untuk menata ulang pendidikan kita ke depan,” kata Enggar.
“Dan, kami di IKA UPI akan menyampaikan dan menyerukan kepada Mas Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim) mengenai urgensi dari hal ini. Lebih tajam dan lebih jauh. Kita sampaikan secara tertulis dan terbuka kepada pemerintah,” lanjut Menteri Perdagangan Kabinet Kerja tersebut.
Sementara itu Ketua IKA UPI Bidang Pembinaan Profesi Unifah Rosyidi yang berbicara setelah Enggartiasto Lukita mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 membawa dampak luar biasa pada dunia pendidikan dan hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan tidak mengakomodasi situasi ini.
Apalagi terjadi disparitas mencolok antara satu sekolah dengan sekolah lain atau satu daerah dengan daerah lain dan pada saat yang sama, hanya sedikit guru yang siap melakukan pembelajaran online secara mandiri serta Kepemilikan siswa terhadap perangkat komunikasi juga terbatas, belum lagi orang tua yang belum terbiasa dengan pembelajaran online.
“Pandemi adalah momentum. Masa pandemi ini adalah momentum untuk kita melakukan hal-hal besar dan mendasar. Untuk mencegah penularan virus, sementara ini para siswa harus mematuhi protokol kesehatan, seraya melakukan berbagai upaya praktis agar pendidikan berjalan normal," kata dia.
"Benang merahnya bukan menaikan angka partisipasi sekolah seperti yang kini banyak dilakukan, tetapi melakukan perubahan menyeluruh dan mendasar kurikulum sekolah, baik dominasi kontennya maupun remodeling sistem pembelajarannya,” lanjut Unifah.
Unifah yang juga Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ini menegaskan, sistem pembejaran tidak bisa kembali ke suasana seperti sebelum pandemi.
Menurut dia selama vaksin belum ditemukan, maka semua insan pendidikan harus melakukan dengan cara baru dan jika biasanya belajar di kelas dilakukan selama 6-8 jam, sekarang tidak bisa karena siswa harus berbagi ruangan kelas.
Dengan demikian, pemerintah tidak bisa lagi mengharuskan 24 jam mengajar bagi guru. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melakukan penyesuaian untuk menyelaraskan dengan kenormalan baru tersebut.
“Dengan pandemi dan setelahnya nanti, kita tidak bisa melakukan tata kelola pendidikan secara business as usual. Kita harus melakukan dengan pendekatan kontekstual. Harus melakukan usaha-usaha khusus. Seperti misalnya membuat modul pembelajaran. Yang penting adalah bagaimana guru memberikan penjelasan sejelas-jelasnya sehingga anak bisa belajar bersama orang tua,” kata Unifah.
Secara kelembagaan, lanjut Unifah, PB PGRI tengah menyusun konsep kurikulum era pandemi. Kurikulum ini didesain menjadi sangat praktis dan aplikatif dengan target pembelajaran rasional.
Hal ini membedakan dengan kurikulum sekarang yang padat konten, sulit mendorong anak untuk belajar secara mandiri di rumah. Kurikulum juga memberikan keleluasaan kepada sekolah menyusun pembelajaran yang mungkin dicapai oleh siswa.
“Dengan kurikulum era pandemi ini, guru tidak harus menyampaikan teori mata pelajaran, tetapi melatih anak belajar secara praktis untuk mencapai kompetensi minimum literasi dan numerasi. Basic literacy yaitu membaca, menulis, menyimak, mengomunikasi dan logika matematika untuk survival hidup di alam nyata,” kata Unifah.
Remodelling sistem belajar tersebut menciptakan proses pembelajaran yang memungkinkan anak termotivasi untuk terus belajar, menjadi pembelajar mandiri, bertumpu pada proses, dan guru berperan sebagai learning manager. Model pembelajaran berupa thematic instruction, collaborative learning, problem based learning, dan experimental learning.
“Era pasca pandemi nanti, transformasi pendidikan akan sukses jika dalam kurikulum sekolah itu dirancang program-program pendidikan dengan standar-standar kompetensi yang jelas dan terukur. Kemendikbud harus merancang banyak aplikasi digital sistem mikro, mulai dari pembelajaran, asesmen, pelatihan guru termasuk manajemen sekolah, baik online maupun offline,” kata Unifah.
“Untuk memastikan sistem mikro bekerja, Kemdikbud juga perlu merancang berbagai aplikasi digital sistem makro tatakelola pendidikan, seperti perencanaan guru, keuangan pendidikan, pendidikan guru, pengadaan sarana-prasarana, pengawasan, dan sistem evaluasi. Aplikasi mikro dan makro tersebut hanya dapat dilakukan ketika arah transformasi kurikulum dan pembelajaran sudah semakin kredibel dan akseptabel secara politis,” lanjut guru besar bidang ilmu manajemen pendidik dan tenaga kependidikan tersebut.
Baca juga: Panduan kurikulum darurat madrasah selama pandemi diterbitkan
Dengan demikian, Unifah menegaskan bahwa kualitas pendidikan tidak bisa hanya ditentukan oleh guru semata. Saat ini berkembang stigma bahwa rendahnya kualitas pendidikan akibat rendahnya kualitas guru padahal, kualitas guru merupakan mencerminkan kualitas kebijakan.
Ini artinya, kualitas guru saat ini merupakan cermin tata kelola dan kebijakan pendidikan.
Alumni IKIP Bandung ini mengkritik sistem remunerasi yang dampak buru terhadap guru sebagai jabatan profesional karena disamakan dengan pegawai administrasi. Tunjangan profesi guru bagi guru bersertifikat tidak memperhitungkan kinerjanya, tetapi ditentukan oleh syarat administratif, seperti mengajar minimal 24 jam per-minggu, tidak absen lebih dari tiga hari, serta dengan peraturan yang berbelit-belit.
“Kurangnya pelatihan guru disebabkan oleh anggaran pelatihan yang minim atau bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Sangat jarang pemda menyelenggarakan program pelatihan guru yang sistematis dan terprogram. Selain karena belum menganggap pentingnya pelatihan guru, Pemda juga tidak memiliki tenaga pelatih yang profesional dan kurang mampu bekerjasama dengan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) setempat," kata Unifah.
Terkait hal itu, Unifah meminta jangan ada kesan meminggirkan LPTK di dalam agenda besar negara untuk “Peningkatan Mutu dan Keunggulan Pendidikan”. Baginya, kesan itu adalah sebuah phylosophical error.
“Visi presiden tidak demikian. Dalam ‘Peta Jalan Pendidikan Indonesia’ berbagai solusi telah diangkat, namun memerlukan pemikiran kebijakan yang mendasar. Sebaiknya bekerja sama dan bersinergi dengan para ahli pendidikan dan para ahli lain yang relevan,” ujarnya.
Menurutnya, rendahnya kemampuan literasi siswa yang diukur oleh PISA, berakar pada cara mengajar yang terlalu teoritis dengan kurikulum yang padat konten akademik. Menurut kurikulum yang berlaku, matematik, sains, dan membaca yang diajarkan di sekolah, sepenuhnya berbasis akademik seolah menyiapkan siswa semuanya menjadi ilmuwan. Padahal, yang diukur oleh PISA bukan aspek akademik, tetapi aspek literasinya. Selain itu, pendidikan di Indonesia harus berakar pada budaya bangsa.
Tekanan pada pendidikan akademik di sekolah, guru tidak dituntut mengaktifkan siswa untuk berlatih dan belajar secara aplikatif yang dilakukan oleh semua guru lulusan manapun, karena requirement kurikulum sekolah. Sejak tahun 2005, guru lulusan pendidikan tinggi umum semakin besar proporsinya, namun sejak saat itu pula skor PISA anak Indonesia tidak semakin baik, bahkan cenderung semakin menurun. Jadi, masalahnya bukan terletak pada guru dan LPTK.
“Hingga kini pemerintah belum melakukan diagnosa yang cermat terhadap faktor pengelolaan guru, seperti rekrutmen yang merit, pengelolaan yang profesional, asesmen kinerja, dan pembinaan profesional berkelanjutan. Padahal, itulah penyakitnya dan LPTK tidak berperan di situ.
Jadi, jangan sampai kesalahan mendiagnosa karena LPTK dalam Peta Jalan Pendidikan adalah kebijakan yang tidak luput dari pemeo Solving the Wrong Problem atau type 3 error, seperti halnya dokter yang keliru mendiagnosa penyakit dan fatal akibatnya, kata Unifah.
Baca juga: PGRI usulkan adanya kurikulum sekolah era pandemi yang aplikatif