Jakarta (ANTARA) - Penanganan pandemi virus Corona (COVID-19) oleh pemerintah dinilai menjadi salah satu pertimbangan utama bagi investor yang telah dan akan menanamkan modalnya di Indonesia.
"Faktor COVID-19 ini tidak hanya penanganan global tapi juga penanganan secara domestik," kata Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi yang dihubungi di Jakarta, Rabu.
Menurut Fithra, investor tentu akan melihat sejauh mana upaya pemerintah mengendalikan penyebaran wabah virus Corona di dalam negeri. Pasalnya, penyebaran virus juga akan mempengatuhi aktivitas produksi.
Baca juga: 790 pasien positif dan 58 meninggal dunia kasus COVID-19, sebut Gugus Tugas
Pertimbangan investor itu juga bisa dilihat berdasarkan indikasi-indikasi yang terjadi saat ini yakni dari pergerakan rupiah dan IHSG yang anjlok.
"Meski bukan indikator paling akurat, tapi itu bisa dijadikan sebagai leading indicator karena yang menjadikan rupiah sampai tembus Rp17 ribu dan IHSG di level 3.000-an itu bukanlah faktor fundamental, tetapi karena faktor COVID-19," katanya.
Fithra menuturkan, jika dilihat dari sisi fundamental, nilai tukar rupiah seharusnya masih berada di kisaran Rp13 ribu-Rp14 ribu-an. Hal itu lantaran kinerja ekspor pada Februari lalu cukup gemilang karena adanya peningkatan ekspor.
Baca juga: Tes COVID-19 massal pada tenaga kesehatan mulai dilakukan Pemerintah Jawa Barat
"COVID-19 ini yang sangat mempengaruhi rupiah dan IHSG secara negatif, maka usaha pemerintah memitigasi COVID-19 akan sangat baik bagi perekonomian jangka menengah dan panjang," imbuhnya.
Fithra memprediksi capaian realisasi investasi sepanjang triwulan pertama tahun ini akan berat dicapai karena didera pandemi virus Corona.
Ia pun memprediksi dengan mulai pulihnya China, di mana industrinya akan mulai beroperasi penuh pada April mendatang, investasi di Indonesia baru akan pulih sepenuhnya pertengahan tahun ini atau sekitar awal semester kedua.
Pasalnya, berkaca pada China, kondisi penyebaran COVID-19 baru akan mencapai puncak awal hingga pertengahan Mei mendatang.
"Berdasarkan simulasi yang saya jalankan, setidaknya puncak COVID-19 ini 6-12 Mei dan mungkin baru melandai akhir Mei atau awal Juni. Di China grafiknya begitu sejak Desember awal kasus, baru April ekspektasi mulai beroperasi penuh," katanya.
Baca juga: ISEI Jabar nilai langkah pemerintah minimalisir dampak ekonomi COVID-19 sudah tepat