Bandung (ANTARA) - Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Pemerintah Kota Bandung menerapkan proyek percontohan di Pasar Ciwastra dengan pengolahan sampah organik menggunakan metode Wadah Sisa Makanan atau Memasak (Wasima), yang saat ini sudah mencapai 70 persen hingga Agustus 2019.
"Total timbunan sampah organik basah Pasar Ciwastra yang baru terolah dengan metode Wasima hingga Agustus 2019 mencapai 70 persen atau sekitar 407 kilogram per hari, " kata Relawan lingkungan yang juga pekerja lepas harian DLHK Kota Bandung, Tatang Sobarna.
Ia mengatakan pengolahan sampah organik metode wasima di Pasar Ciwastra akan terus ditingkatkan hingga 90 persen pada Oktober nanti.
"Lokasi ini merupakan percontohan pengolahan sampah organik skala pasar. Pada periode Juli sampai Agustus telah dilakukan pengadaan sarana dan prasarana pendukung, dan mulai Agustus sampai Oktober nanti kita mulai penuh dengan pengolahan sampah hingga 90 persen," katanya.
Lebih lanjut, kata dia, dari pengolahan sampah organik skala pasar tersebut dapat menghasilkan beberapa bahan-bahan kebutuhan yang bernilai ekonomis.
"Karena metode Wasima tadi fleksibel maka hasilnya ada bagian organik padat dan cairannya. Nah tergantung mau dijadikan apa, bisa dijadikan kompos, pakan magot atau bisa buat bahan bakar. Untuk cairannya sendiri bisa dibuat bioetanol, pupuk cair, biokstrak, ekoenzim atau mol," katanya.
Tatang menjelaskan, hasil pengolahan sampah organik di Pasar Ciwastra di antaranya kompos limbah pasar sebanyak 20 kilogram dijual seharga Rp1.000 per kilogram dengan total Rp20.000 per hari, kompos magot sebanyak 8 kilogram seharga Rp5.000 per kilogram dengan total Rp40.000 per hari.
Kemudian pupuk cair sebanyak 60 liter seharga Rp20.000 per liter dengan total Rp1.200.000 per hari, magot sebanyak 10 kilogram seharga Rp7.000 per kilogram dengan total Rp70.000 per hari, pakan ternak silase sebanyak 40 kilogram seharga Rp400 per kilogram dengan total Rp16.000, biogas sebanyak 0,2 kilogram seharga Rp7.000 per kilogram dengan total Rp1.400 per hari.
Total yang sudah dihasilkan pada Agustus 2019 sesuai kapasitas sarana pengolahannya yakni 70 persen sebesar Rp943.180 per hari, dan jika pengolahan sampah organik pada Oktober nanti sebesar 90 persen maka hasilnya diperkirakan mencapai Rp1.212.668 per hari.
"Jadi tujuannya ini bagaimana sampah organik pasar yang tidak sampai ke TPA, maka cara di sini bisa menjadi percontohan untuk pasar-pasar lain bagaimana mengolah sampah agar bernilai ekonomis. Jadi intinya metode ini bagaimana sirkulasi ekonominya berputar terus, jadi sampah menjadi sumber daya yang berkelanjutan," katanya.
Meskipun baru berjalan enam bulan, pengelolaan sampah di Pasar Ciwastra ini sudah banyak dikunjungi dari berbagai pihak diantaranya warga sekitar, mahasiswa hingga organisasi dari luar negeri untuk belajar.
"Banyak orang sekitar yang datang dan ingin belajar bagaimana cara mengelola sampah organik menggunakan metode Wasima ini, selain itu juga tempat ini sebagai penelitian dari mahasiswa ITB, ada juga organisasi dari UNDP (United Nations Development Programs) sama Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. Selain itu Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan juga perhatian terhadap masalah ini," katanya.
Tatang berharap pengolahan sampah Pasar Ciwastra ini terus menjadi tempat edukasi bagi warga sekitar dan percontohan bagi pasar-pasar yang ada di kota Bandung.
"Mudah-mudahan tempat ini selain untuk tempat pengolahan sampah dijadikannya juga sebagai tempat edukasi bagi warga masyarakat, pelajar, atau mahasiswa untuk melakukan penelitian. Jadi, perkembangan dari percontohan ini akan lebih menyebar lagi khususnya di kota Bandung umumnya di Indonesia," katanya.
Baca juga: DLH Cianjur berhasil mengurangi tumpukan sampah di TPSA
Baca juga: Bupati Bekasi tolak usulan perluasan TPA Burangkeng
Pengolahan sampah di Pasar Ciwastra