Perawakan perempuan itu sedang dan wajahnya yang tegak menyiratkan rasa percaya diri dengan senyum sesekali tersungging di bibirnya.
Tidak ada perbedaan yang tampak pada dirinya seperti layaknya orang kebanyakan, kecuali tongkat untuk menyangga kakinya ketika berjalan.
Dia adalah Yuyun Yuningsih, pegiat kesetaraan orang dengan disabilitas sekaligus Direktur Bandung Independent Living Center (BILiC). Sejak awal, dia merasa bahwa kondisi dirinya pascakecelakaan yang mendisfungsikan salah satu kakinya sebagai berkah untuk terjun memandirikan kaum difabel.
Sejak 10 tahun lalu, sarjana biologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung itu bergiat aktif dalam ruang pemberdayaan masyarakat difabel. Kegiatan itu diawali oleh pertemuan tidak sengaja dengan salah seorang aktivis difabel di Bandung, Cucu Saida, ketika hendak mencoba kaki palsu.
"Ketika hendak `fitting` kaki pada saat masih kuliah, saya bertemu Bu Cucu Saidah yang ketika itu mengenalkan konsep `independent living` bagi difabel pada saya, dan mengajak berdiskusi tentang keinginannya menghimpun rekan difabel di Kota Bandung agar produktif dan mandiri," katanya ketika ditemui di bilangan Cigadung, Bandung.
Konsep hidup mandiri bagi difabel, menurut dia, adalah suatu pola pikir yang berfokus pada bagaimana kaum difabel dapat berkegiatan dan melakukan aktivitas sehari-hari seperti orang pada umumnya, tanpa dipandang sebagai pihak yang butuh pertolongan.
"`Independent living` itu bagaimana kami sebagai difabel dapat beraktivitas sehari-hari tanpa perlu `dikasihani` dan terus-terusan ditolong. Inginnya kondisi kami dipandang sebagai diferensiasi sebagaimana ada perempuan dan laki-laki, ada yang berkulit terang atau gelap, jadi perbedaan yang setara," katanya.
Untuk itu, lanjut dia, pada tahun 2005 dirinya memutuskan untuk terlibat bergabung dengan BILiC yang digagas oleh Cucu Saida.
"Pada tahun 2005 ikut paruh waktu sebagai konselor sebaya. Kami dilatih dan diterjunkan ke lapangan untuk mencari dua sampai tiga orang difabel di tiap kelurahan untuk kemudian dilihat potensi-potensinya agar bisa dikembangkan secara berkala," ucapnya.
Setelah dua tahun berkegiatan sebagai konselor, pada tahun 2007 dirinya sempat mengajar di Sekolah Sains Al-Biruni Bandung. Namun, panggilan hatinya kembali membawanya pada lapang perjuangan kaum difabel sehingga membuatnya menolak tawaran pihak sekolah untuk menjadi kepala.
"Bila diingat-ingat, kondisi saya masih jauh lebih beruntung dibanding teman difabel lain, bisa sekolah dan dapat kerja. Oleh karena itu, saya merasa perlu untuk membantu berjuang," kata Yuyun.
Fokus pergerakan Yuyun dan teman-teman di BILiC, selain membudayakan konsep hidup mandiri, juga mengupayakan cara agar mereka tetap dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, hingga evaluasi kebijakan pemerintah, terutama Kota Bandung, dalam membangun kota yang ramah terhadap difabel sesuai dengan Perda Nomor 26 Tahun 2009 tentang Kesetaraan dan Pemberdayaan Penyandang Cacat.
"Kami mengupayakan agar terus terlibat dalam proses-proses itu. Sering kali meski suara kami telah ditampung, bila tidak dilibatkan pada monitoring banyak terjadi implementasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Jadi, sia-sia," katanya.
Menurut dia, selama ini pemerintah hanya melibatkan mereka pada proses awal ketika merumuskan "grand design".
"Kami pernah melakukan audiensi dengan Ridwan Kamil. Ketika itu masih calon wali kota, pada sesi `ngabandungan` yang melibatkan sejumlah komunitas untuk merancang Kota Bandung yang ideal. Ide kami sudah ditampung, bahkan disambut baik. Akan tetapi, hingga saat ini implementasinya masih sangat jauh dari sesuai," kata Yuyun.
Salah satunya, kata dia, adalah pembangunan halte bus Trans-Metro Bandung (TMB) yang masih diskriminatif karena tidak menyertakan tangga landai untuk kursi roda dan dianggap hanya mengedepankan desain yang nyentrik.
Untuk hal tersebut, dia membuat petisi melalui laman change.org dengan judul "Revolusi Desain Halte dan Trotoar Publik Kota Bandung yang Diskriminatif" bagi Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
"Salah satu titik halte bus TMB di jalan BKR, baik halte maupun trotoarya tidak aksesibel bagi difabel. Kami mengamati desain yang Kang Emil ciptakan bukan berawal dari fungsi dan manfaat yang tentunya akan berpengaruh pada biaya, mengapa harus mendesain halte yang nyentrik?" kata dia.
Menurut Yuyun, hal itu terjadi lantaran isu disabilitas belum dianggap sebagai isu yang krusial dan belum dijadikan prioritas, meskipun menyangkut hajat hidup orang banyak.
"Masalah ini kalah kepentingannya dengan isu-isu lain karena belum ada pola pikir bagaimana memenuhi dan melindungi hak kaum difabel seutuhnya sebagai manusia. Di sisi lain implementasi perda masih tersendat, sistem seperti ini ditambah kemampuan para difabel untuk menggugah perubahan masih minim karena ilmu dan kemampuan terbatas, sekolah bagi difabel relatif masih sulit dan mahal," kata dia.
Selain aktif berkegiatan di BILiC, dia juga tergabung dalam tim pembuat laporan bayangan untuk Ratifikasi Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas Nomor 19 Tahun 2011 bersama Disability Convention (Disco).
"Di Disco kami menulis laporan bayangan yang menuliskan berbagai hal terkait dengan implementasi Ratifikasi Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas Nomor 19 Tahun 2011. Setelah negara meratifikasi, perlu memberikan `initial report` pada PBB, kami memberikan laporan bayangan sebagai masyarakat sipil untuk memberi fakta yang sebenarnya," katanya.
Meski menghadapi banyak tantangan, dia mengatakan bahwa dirinya tidak menyerah memperjuangkan kemaslahatan difabel.
"Kesenangan saya adalah ketika melihat orang lain berhasil, dan kita terlibat di dalamnya. Ketika melihat difabel dimanusiakan, itu tidak tergantikan rasanya. Bikin kecanduan. Saya yakin bila kita ingin maju, kita juga harus memajukan orang lain," kata dia.
Menanti Dimanusiakannya Para Difabel
Selasa, 13 Oktober 2015 11:00 WIB
Kami mengamati desain yang Kang Emil ciptakan bukan berawal dari fungsi dan manfaat