Jakarta (Antaranews Jabar) - Menyusuri kegelapan pepohonan lebat hutan belantara Amazon yang penuh dahan-dahan menjulur hingga ke tanah berbelukar membuat bulu kuduk meremang sepanjang perjalanan.
Keterkejutan ketika ular raksasa Anaconda menjulur dan mendesis di depan wajah membuat kengerian di depan mata tiba-tiba berubah total menjadi pemandangan ruang duduk yang santai ketika secara refleks tombol off ditekan.
Ini adalah teknologi realitas tertambah (augmented reality/ AR), sebuah istilah dalam era digital untuk teknologi yang menggabungkan lingkungan maya tiga dimensi ke dalam sebuah lingkungan nyata.
Si pemain memang memilih menjelajahi hutan belantara Amazon tanpa harus benar-benar pergi ke lokasi tersebut. Peralatan berteknologi AR membuatnya bisa mengeksplorasi dunia dengan hanya beraksi di sela waktu luang.
Di masa depan teknologi AR makin meluas ke segala aspek kehidupan. Bukan saja di lingkungan permainan (game) dan simulasi, tapi juga ke bidang-bidang lain, seperti pendidikan dan kesehatan.
Kelas virtual, bahkan laboratorium virtual, bukan lagi teknologi masa depan, tapi sudah menjadi teknologi masa kini. ITB, UI dan UGM sudah mengembangkan laboratorium terhubung melalui teknologi AR yang membuat mahasiswa bisa praktik dalam situasi virtual.
Demikian pula di rumah sakit-rumah sakit, kelak dokter dan perawat bisa memantau kondisi aktual kesehatan pasiennya dengan teknologi AR.
Selain teknologi AR, era digital juga ditandai dengan bertebarannya istilah teknologi baru lainnya, seperti internet untuk segala (internet of things), penggunaan perangkat-perangkat robot (robotics), kecerdasan buatan (artificial intelligence), hingga komputasi awan (cloud computing).
Istilah-istilah yang sekarang digunakan untuk menggambarkan kedatangan Revolusi Industri 4.0 tersebut berkaitan dengan mulai banyaknya berbagai fasilitas umum yang saling terkoneksi melalui internet, seperti pelayanan administrasi warga, transportasi umum, pelayanan keuangan, hingga aplikasi kecerdasan buatan di berbagai perlengkapan sehari-hari.
Badai Peralihan
Dunia terus berubah. Sejak era digital dimulai, banyak perusahaan besar dunia rontok satu per satu, menjual pabriknya atau berjuang menyesuaikan diri dengan perkembangan situasi.
Kodak adalah salah satunya. Perusahaan di bidang film fotografi yang pernah berjaya di dunia ini sempat bangkrut pada 2012 karena tidak mampu mengikuti cepatnya revolusi digital dimana generasi masa kini lebih suka membagi (share) foto di media sosial daripada mencetak foto untuk disimpan di album.
Contoh lainnya perusahaan mesin fotokopi Xerox yang masih percaya dengan bisnis usangnya di tengah era pengurangan penggunaan kertas secara drastis. Atau perusahaan game konsol raksasa Atari yang terpaksa tidak bisa berkembang di tengah derasnya pertumbuhan permainan daring.
Sedangkan Motorola, merek perangkat komunikasi yang juga mengeluarkan beragam versi telepon seluler, gagal melihat minat konsumen terhadap inovasi perangkat lunak lebih besar daripada perangkat keras. Hal yang sama terjadi pada Nokia, Blackberry dan sejenisnya.
Demikian pula perusahaan-perusahaan raksasa elektronik Asia (Jepang), seperti Hitachi, Sony, dan Toshiba. Mereka yang masih menikmati awal era teknologi digital ini harus terus bergulat menghadapi badai digitalisasi dan sedang sekarat menunggu waktu.
Tentu saja perusahaan-perusahaan kecil lebih banyak dan lebih duluan lagi tutup. Perkembangan surat elektronik 20 tahun lalu misalnya, membuat toko pembuat kartu ucapan, harus mencari usaha lainnya, juga toko-toko musik dan rental film yang gulung tikar karena orang beralih mendengar musik dan menonton film daring atau mengunduhnya lewat internet.
Sepanjang 20 tahun terakhir ini, produsen kalkulator, kamera, kompas, perangkat penerjemah, perangkat telepon, alat perekam, dan semacamnya secara perlahan hilang dari pasaran. Gantinya adalah komputer multimedia dan selanjutnya gawai yang merangkum semua fungsi berbagai peralatan elektronik sebelumnya.
Berikutnya, tak cukup sekedar multimedia. Di era disrupsi ini, inovasi dan lompatan teknologi senantiasa mengganggu situasi perekonomian yang selama ini sudah mapan, bahkan yang baru saja terbentuk untuk mapan.
Disrupsi Nyata
Riset McKinsey Global Institute 2016 memprediksi, pada 2030 (Revolusi Industri 4.0), sebanyak 75 juta hingga 375 juta pekerjaan hilang sebagai dampak otomatisasi dan digitalisasi. Angka tersebut adalah 14 persen dari 2,66 miliar pekerjaan di dunia.
Sementara itu khusus di negara-negara berkembang, pekerjaan yang hilang sekitar 6-13 persen. Ini lebih rendah daripada pekerjaan yang hilang di Amerika Serikat (32 persen) dan negara maju lainnya 33-46 persen.
Pintu-pintu tol yang hanya dijaga mesin e-toll merupakan kasus aktual hilangnya pekerjaan penjaga pintu tol. Demikian pula petugas di loket tiket yang tidak lagi dibutuhkan karena orang beralih membeli tiket secara daring.
Sebenarnya ini merupakan kelanjutan dari mekanisasi dan otomatisasi sebelumnya yang terus berlangsung dan berjalan makin cepat, karena sebelumnya ban berjalan sudah menggantikan buruh pabrik, mesin penjawab telepon sudah membantu pekerjaan resepsionis dan mesin-mesin ATM membantu pekerjaan teller.
Berikutnya peralihan akan berimbas ke mana-mana hingga ke pekerjaan profesional yang membutuhkan analisis. Karena "Internet of things" membuat semua benda saling terhubung melalui internet ke sistem siber data besar.
Analisis Gartner menyebut pada 2020 akan ada 26 miliar perangkat yang terhubung ke internet dan ini merupakan sebuah jaringan internet raksasa di dunia di mana mesin-mesin ini saling bertukar data dan semakin cerdas.
Mesin akan menggantikan daya analisis manusia ketika harus memberi keputusan, misalnya dalam soal pemberian pinjaman atau investasi untuk suatu perusahaan dengan melihat rekam jejaknya pada data siber.
Peluang Baru
Namun demikian, rontoknya banyak perusahaan besar dan hilangnya pekerjaan di era disrupsi ini sebenarnya membuka pula berbagai peluang usaha dan lapangan pekerjaan baru.
Jika di masa lalu pasar dalam negeri dikuasai korporasi-korporasi besar dunia, di era disrupsi yang rentan untuk jatuh bangun ini, pasar jadi lebih egaliter dan punya banyak lubang yang bisa ditembus oleh usaha-usaha baru dalam negeri.
Meskipun demikian, generasi milenial ini tentu saja tetap dituntut semakin kreatif. Jangan sampai peluang-peluang yang terbuka ini justru diisi lagi dengan teknologi-teknologi impor.
Hasbi Asyadiq adalah contoh pemuda yang kreatif masa kini. Tren digitalisasi dihadapinya dengan menciptakan berbagai produk teknologi Augmented Reality/Virtual Reality (AR/VR) yang diawali dengan flashcard, kartu yang bisa memunculkan gambar hidup tiga dimensi yang sudah merambah ke berbagai negara.
Kepiawaian Hasbi yang kini juga membuat aplikasi Assembler untuk playstore Android dan telah diunduh lebih dari sejuta kali itu, menandakan anak-anak Indonesia juga mampu ikut andil di era digital, bahkan untuk menembus pasar dunia.
Era digital meski punya sisi gelap kelanjutan dari mekanisasi dan otomatisasi yang mengambil alih banyak pekerjaan manusia, juga punya sisi cerah yang memberi banyak peluang usaha rintisan yang tidak didukung modal.
Sisi gelap dan cerah era digital
Kamis, 6 Desember 2018 14:11 WIB