MK secara eksplisit memasukkan frasa "wakil menteri" dalam norma Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang pada mulanya hanya berisi larangan rangkap jabatan untuk menteri.
Dijelaskan Enny, putusan ini berakar pada pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019. Pada putusan sebelumnya itu, MK sesungguhnya telah secara jelas dan tegas menyatakan larangan rangkap jabatan yang berlaku untuk menteri berlaku pula bagi wamen.
Menurut Mahkamah, sama halnya dengan amar putusan, pertimbangan hukum sejatinya memiliki kedudukan hukum yang mengikat karena merupakan bagian dari putusan yang bersifat final.
"Dalam kaitan ini, pertimbangan hukum dimaksud seharusnya ditindaklanjuti sejak pengucapan Putusan MK Nomor 80/PUU-XVIl/2019," ucap Enny.
Namun, pada faktanya, setelah Putusan Nomor 80/PUU-XVIl/2019 diucapkan pada Agustus 2020, masih terdapat wamen yang merangkap jabatan, termasuk salah satunya menjadi komisaris pada perusahaan BUMN. Hal inilah yang didalilkan Viktor dalam permohonannya.
Berkenaan dengan dalil tersebut, MK mengatakan larangan rangkap jabatan wamen sebagai komisaris BUMN sejalan dengan norma Pasal 33 huruf b UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang substansinya tetap diakomodasi dalam UU BUMN terbaru yang disahkan pada awal tahun ini.
"Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah menegaskan dalam amar putusan a quo (ini) mengenai larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri termasuk sebagai komisaris, sebagaimana halnya menteri agar fokus pada penanganan urusan kementerian," ujar Enny.
