Pembentukan batalyon teritorial pembangunan yang berorientasi OMSP, menurut dia, adalah upaya memperkuat fungsi teritorial yang merupakan implementasi dari upaya soft power dalam menjaga kedaulatan negara, termasuk dalam kemandirian pangan yang merupakan pertahanan non konvensional yang perlu dijaga oleh sebuah bangsa.
"Termasuk oleh TNI sebagai garda terdepan kedaulatan dan pertahanan baik militer non militer, dan bersifat konvensional maupun non konvensional. Ini sebagai solusi nyata atas tantangan sosial, kemiskinan dan krisis pangan di seluruh wilayah indonesia, bukan militerisme, bukan ekspansi militer pada ruang dan ranah sipil," ucapnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan batalyon teritorial pembangunan merupakan pengelolaan sumber daya strategis pembangunan yang harusnya mendapat dukungan positif dari berbagai elemen dan lapisan, mengingat pertahanan non konvensional sangat penting dalam menghadapi berbagai ancaman yang kompleks dan tidak bisa diperkirakan di era globalisasi saat ini.
Peran aktif TNI dalam pembangunan nasional, menurut dia, tidak sedikitpun mempengaruhi fungsi utama TNI sebagai alat pertahanan negara, yang terbukti atas konsistensi TNI AD dalam mengamankan wilayah Papua terhadap serangan OPM, dan dibarengi dukungan TNI terhadap logistik dan kesehatan di sana, termasuk hadirnya batalyon infanteri penyangga daerah rawan Papua untuk membantu pemerintah dalam produksi pangan dan konstruksi.
Meski demikian, Mayyasari mengatakan sangat perlu dipahami tidak ada dominasi TNI AD atas pembentukan batalyon teritorial pembangunan, karena semua bersifat sinergis untuk percepatan pembangunan nasional atas ketahanan pangan dan swasembada pangan sebagai kebutuhan mendasar sebuah bangsa, tanpa menafikan matra laut dan udara.
Bahkan saat ini, kata dia, pemerintahan Prabowo Subianto melakukan penguatan seluruh matra termasuk laut dan udara untuk menghadapi dinamika geopolitik kawasan, menguatkan hak kemaritiman dan teritorial atas potensi permasalahan Natuna Utara, Laut China Selatan dan beberapa kawasan potensi konflik di wilayah Indonesia Timur.
"Walau Indonesia termasuk negara non-claimant atas permasalahan Laut China Selatan, Indonesia tetap menjaga kepentingan nasional bangsa, mengingat Laut China Selatan sebagai jalur perdagangan internasional yang strategis memiliki pengaruh besar terhadap stabilitas ekonomi dan keamanan nasional Indonesia," tuturnya.
Diketahui, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) tengah merancang pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan yang akan disebar di seluruh wilayah Indonesia, mencakup 514 kabupaten dan kota, sebagai upaya mendukung pembangunan nasional dan menjaga stabilitas.
Namun, rencana ini menuai kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang terdiri dari berbagai organisasi di antaranya Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALH ehI, SETARA Institute, dan Centra Initiative, yang menilai pembentukan batalyon dengan fungsi non-tempur telah keluar dari mandat utama TNI sebagai alat pertahanan negara, sesuai UU TNI.
Koalisi menyebut, di tengah kompleksitas ancaman modern, TNI justru perlu fokus memperkuat kemampuan tempurnya. Keterlibatan dalam kegiatan non-militer dikhawatirkan akan mengurangi fokus dan efektivitas TNI dalam menjalankan fungsi pertahanan.
Mereka juga menilai langkah ini mencerminkan kegagalan menjaga batas yang jelas antara ranah sipil dan militer. UU TNI dan UUD 1945, menurut mereka, dengan tegas tidak memberikan kewenangan kepada militer untuk terlibat dalam sektor pertanian, peternakan, maupun layanan kesehatan.
