Masyarakat Indonesia terbiasa menarasikan ingatan melalui story telling untuk terhubung dengan keturunan mereka. Karakteristik tradisi lisan yang menjadi satu bagian dalam kultur masyarakat, menjadi bagian yang ikut menguatkan wacana traumatis tersebut. Dengan demikian, post-generation tersebut turut menyimpan problematika yang serupa.
Untuk itulah penerimaan masyarakat Indonesia terhadap pemain naturalisasi, yang secara kolektif berasal dari Belanda, menjadi angin segar. Sebab hanya dengan meruntuhkan posisi biner penjajah dan terjajah, masyarakat dunia ketiga mampu menyadari keberadaannya sebagai subjek yang independen, bebas, dan memiliki kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya.
Jalan kecil dari sepak bola
Tanpa banyak orang sadari, proyek naturalisasi ini menjadi penetrasi bagi rekonsiliasi yang selama ini mendapat berbagai tantangan. Salah satu wacana yang mengintegrasi cara pandang demikian terepresentasikan pada tulisan Petrik Matanasi berjudul Raja Belanda Datang Minta Maaf, Pemerintah RI Berak di Muka Sendiri (Tirto.id, 2020) yang membuka kembali peristiwa penjajahan Belanda ketika menguasai Hindia Belanda. Menurutnya, mekanisme kekuasaan Belanda bergerak pada serangkaian kejahatan yang kompleks dan menyeluruh, dari peristiwa marsose kepada rakyat Aceh, kekejaman Westerling kepada rakyat desa di Sulawesi Selatan, dan seterusnya.
Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa subjek Belanda menempatkan diri di atas masyarakat pribumi dan rakyat jelata secara khusus. Mereka memaksa pribumi untuk tunduk dan melihat secara tengadah. Dengan kata lain mereka mengonstruksi pola inferiority complex yang dalam terhadap negara kolonial.
Hal ini menjadi salah satu bentuk konstruksi traumatik affillial memory yang ditransmisikan kepada generasi sezaman. Tulisan Matanasi tersebut hanya salah satu dari sekian banyak wacana yang diproduksi melalui media-media di Indonesia.
Wacana mengenai konflik warisan kolonial juga dibahas seperti dalam tulisan berjudul Rindu Dendam di Balik Keris Naga Siluman (Indonesia.go.id, 2020), tulisan Jaya Suprana berjudul Indonesia Harus Minta Maaf karena Dijajah Belanda (Kompas.com, 2022), dan tulisan Pandasurya Wijaya dalam judul Sudah Dua Kali Belanda Minta Maaf kepada Indonesia, Beri Ganti Rugi Rp270 Juta (Merdeka.com, 2020). Secara umum, tulisan-tulisan tersebut menyoroti peristiwa terkini mengenai wacana permintaan maaf Belanda kepada Indonesia atas kejahatan masa lalu dalam bingkai kolonialisme. Sikap reaksioner berbagai kalangan dalam merespons peristiwa demikian menunjukkan bahwa konflik penjajah terjajah masih menjadi perhatian penuh sebagian pelaku media.
Dengan adanya proses naturalisasi terhadap keturunan Belanda-Indonesia, setidaknya dalam ruang ‘tak sadar’ kita telah memulai perspektif baru.
Pertama, naturalisasi memberi anasir implisit bahwa subjek (dengan darah Belanda) ternyata tidak selalu ‘jahat’ layaknya kisah masa lalu. Inilah poin rekonsiliasi yang dimaksud. Tujuannya jelas, melakukan displacing of meaning terhadap paradigma berpikir masyarakat Indonesia agar terlepas dari hantu masa lalu, Belanda. Dengan melepaskan beban tersebut, secara otomatis masyarakat Indonesia juga menguraikan binerisme, stereotipe, dan dominasi yang sebelumnya selalu hidup sejalan dengan ingatan kelam tersebut.
Telaah - Naturalisasi, trauma kolonialisasi, dan jalan rekonsiliasi
Sabtu, 5 Oktober 2024 13:30 WIB