Lulusan perguruan tinggi dinilai telah memiliki konstruksi berpikir yang terstruktur menjadikannya mampu membangun konsep program, mengatur strategi sampai pelaksanaan realisasinya secara efektif dan efisien. Sebuah kualifikasi minimal untuk kader kepemimpinan bangsa.
Maka perayaan Hari Sarjana Nasional dimaksudkan sebagai apresiasi peran para intelektual atas kontribusinya terhadap pembangunan dan kemajuan bangsa.
Sarjana atau gaya
Ada perbedaan cara pandang masyarakat dahulu dengan anak muda zaman sekarang. Dahulu, orang berpandangan bahwa anak yang mampu menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi dan berhasil lulus dengan nilai terbaik adalah sebuah capaian yang membanggakan. Selanjutnya, sang sarjana melamar kerja di kantor pemerintahan menjadi abdi negara dengan mengenakan seragam khasnya. Orang tua akan bangga dan berbunga-bunga melihat itu semua. Foto-foto anak wisuda atau yang berseragam kerja tidak lupa dipajang di ruang tamu sebagai media publikasi untuk menyiarkan tentang kesuksesan anaknya pada tetangga dan sanak saudara yang bertandang.
Kini sebagian generasi kiwari lebih getol memburu popularitas dan ukuran kesuksesan berorientasi pada besaran uang yang berhasil diraup dari menjual ketenaran. Media sosial menjadi ladang karier yang gampang, instan, dan dianggap menjanjikan hanya dengan menggaet pengikut (follower) sebanyak-banyaknya. Padahal keberadaan pengikut itu tidak abadi. Sedikit saja seorang selebritas medsos melakukan kesalahan dan mengecewakan warganet, mereka akan pergi meninggalkannya. Dan pundi-pundi monetisasi akan hilang karenanya.
Memang begitu rumusnya, segala yang mudah datang akan mudah juga untuk menghilang. Karier yang dibangun tidak disertai fondasi pendidikan bersifat temporer, rapuh dan gampang tumbang ketika berada di ketinggian lalu tertiup angin kencang.
Belum lama ini Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS mengungkap data bahwa sebanyak 9,89 juta generasi Z menganggur, dalam artian tidak sedang mengikuti pendidikan atau pun bekerja. Di antara pengangguran itu sebanyak 5,2 juta orang tinggal di perkotaan dan 4,6 juta orang berada di perdesaan. Angka dari perkotaan justru lebih besar, disinyalir sebagian dari mereka tengah berkarier di media sosial, baik sebagai pemengaruh maupun sebagai kreator konten.
Uang dan popularitas begitu memikat generasi kini karena menjanjikan kehidupan gemerlap, sesuatu yang menghadirkan kesenangan. Gengsi dan gaya menjadi hal utama yang perlu diperjuangkan pemenuhannya.