Bandung (ANTARA) - Dewan Pers mempertanyakan urgensi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, sementara Presiden Joko Widodo sangat menghormati pers, bahkan mengeluarkan Perpres 32 tahun 2024 agar perusahaan platform memberikan dukungan pada hasil karya jurnalistik yang berkualitas.
"Itu artinya pemerintah itu menghormati karya jurnalistik berkualitas. Lah kenapa, di draf RUU Penyiaran ini melarang media menyiarkan jurnalistik investigatif. Jurnalistik investigatif itu adalah mahkota dari kerja kerja jurnalistik," kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu di Bandung, Kamis.
Lebih lanjut, Ninik mengungkapkan bahwa RUU Penyiaran yang saat ini tengah digodok oleh Badan Legislasi DPR RI, dinilai sebagai upaya kesekian kalinya dalam memberangus kebebasan pers di Indonesia.
"Ini upaya memberangus pers kita dan dinilai akan membahayakan demokrasi, dan semangat reformasi di Indonesia, ketika hak warga negara untuk mengetahui dan berbicara sangat dibelenggu," ujarnya.
Upaya memberangus pers Indonesia, kata Ninik, bukan kali pertama terjadi, di mana hal yang sama dilakukan saat perancangan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Ini bukan pertama kali lo. Coba perhatikan, pada 2017 melalui UU Pemilu, lalu melalui UU Cipta Kerja yang melarang penyiaran pemberitaan. Lalu draf UU penyiaran saat ini. Jadi ini bukan pertama kali upaya untuk meminggirkan peran pers dalam pemberitaan berkualitas," kata Ninik di Bandung, Kamis.
Ia pun menemukan kesinambungan upaya-upaya pemberangusan pers melalui draf-draf undang-undang sebelumnya.
Hal itu dapat terlihat dari UU Pemilu, UU Cipta Kerja, UU KUHP, dan sekarang draf UU Penyiaran.
Dewan Pers pertanyakan RUU Penyiaran, sementara presiden hormati pers
Jumat, 17 Mei 2024 6:00 WIB