Hingga tahun 2023, Dinas Perhubungan Jabar mencatat per hari ada pergerakan 16,72 juta perjalanan dari sekitar 8,36 juta orang dengan kepadatan jalan sebesar 36,4 persen.
Dengan asumsi pertambahan penduduk dan jumlah kendaraan yang juga terus membengkak, jika tidak dilakukan langkah-langkah nyata yang berdampak, diprediksi pada tahun 2037 ada 22,12 juta perjalanan per hari dari 11,06 juta orang dengan kepadatan jalan 100 persen.
BRT
Dengan pertumbuhan masif kendaraan pribadi yang terjadi, akhirnya menyebabkan kemacetan yang berimplikasi pada kerugian ekonomi akibat memburuknya kualitas udara, bertambahnya waktu tempuh, bertambahnya konsumsi bahan bakar, hingga peningkatan biaya yang dikeluarkan dalam satu perjalanan.
Dari kualitas udara, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jabar mencatat bahwa emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi terus meningkat dari 12.105 ribu ton setara karbon dioksida (CO2eq) menjadi 22.539 ribu ton CO2eq pada 2020 dengan kemungkinan terus bertambah.
Menurut Bank Dunia, kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh kemacetan di Bandung Raya, menempatkan Kota Bandung sebagai yang termacet se-Indonesia dengan kerugian ekonomi mencapai Rp12 triliun per tahun.
Bahkan kerugian ekonomi akibat kemacetan di Bandung Raya, jika digabung dengan wilayah Jabodetabek, mencapai Rp100 triliun per tahun, tertinggi se-Indonesia.
Oleh karena itu, harus ada perubahan fundamental pada pola pergerakan masyarakat di wilayah yang dikenal dengan Cekungan Bandung ini.
Bappeda Jawa Barat mengungkapkan sejak 2018, kawasan Cekungan Bandung atau Metropolitan Bandung ditetapkan menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN) lewat Perpres Nomor 45/2018.
Mencegah "neraka" kemacetan di Bandung Raya dengan BRT
Oleh Ricky Prayoga Sabtu, 27 April 2024 5:58 WIB