Jakarta (ANTARA) - “Dulu Bapak suka duduk di situ,” ujar Inaya Wulandari Wahid, putri bungsu Presiden ke-4 Republik Indonesia Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur), saat ditemui di rumah kediaman keluarga Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, Senin (11/12).
Inaya menunjuk sudut di ruang tamu rumahnya saat menerima kunjungan Tim Kantor Berita ANTARA. Di ruang itu, kata Inaya, Gus Dur menggunakannya sebagai “ruang kerja” dan menerima tamu dari berbagai kalangan. Bahkan, juga sebagai tempat salat.
Biasanya, sebelum subuh, membangunkan Inaya untuk minta diantar ke ruang tamu. Di ruang tamu itulah Gus Dur Salat Subuh. Selesai subuh, pintu akan dibuka, dan sudah banyak tamu-tamu yang menunggu.
Para tamu Gus Dur sudah mulai berdatangan sejak pukul 04.00 pagi setiap hari. Tamu-tamu akan mulai antre untuk bertemu Gus Dur, dari yang hanya mau salaman, hingga berdiskusi dengan Gus Dur. Orang-orang yang datang pun beragam, dari ibu-ibu yang mau berangkat ke pasar, hingga menteri atau pejabat.
Di rumah itu, seorang menteri dan setingkat, pejabat-pejabat lain sama-sama mengantre. Setiap orang yang ingin bertemu Gus Dur harus mengikuti prosesi yang sama. Gus Dur menghadapi mereka dengan duduk, tiduran di lantai. Tidak jarang Gus Dur hanya memakai sarung dan kaos singlet.
Istri Gus Dur, Sinta Nuriyah, mengenang sosok suaminya selalu mendedikasikan diri pada agama, negara, dan masyarakat sepanjang hidupnya. Sehingga waktunya bersama keluarga adalah sebuah kemewahan.
“Bapak sampai mengatakan sendiri keluargaku itu hampir-hampir tidak mendapatkan tempat. Mungkin keluarga itu nomer 19, kali. Itu Bapak akuin sendiri itu,” ungkap Sinta.
Menurut Sinta, Gus Dur sering tidak pulang ke rumah. Hal ini kadang membuatnya kesal. Apalagi Gus Dur tidak pernah memberi tahu. Biasanya, Sinta tahu keberadaan Gus Dur dari koran.
Meski demikian, bagi Sinta, Gus Dur adalah sosok yang romantis. Mereka kerap berkirim surat sejak masa pacaran.
Akan tetapi, ketika sudah berumah tangga, justru Sinta yang selalu membuat surat. Diakui bahwa dalam keluarga hampir pasti ada rasa kesal satu sama lain.
"Bapak itu seringnya di kantor, nanti suka dibawa orang kemana. Kita enggak tahu Bapak ada dimana,” tutur Sinta.
Sinta biasanya menumpahkan kekesalannya lewat surat yang ia selipkan di tumpukan baju Gus Dur.
Kalau sudah datang di rumah dan mau ganti baju, di situ ada surat. Setelah itu diambil, dibaca, direnungkan, diresapi. Gus Dur datang ke kamar, memeluk Sinta dan menjelaskan apa masalahnya.
Warisan abadi
Di tengah kesibukannya, Gus Dur selalu menyempatkan diri mendengarkan musik atau wayang.
Jiwa seni melekat pada Gus Dur, yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 1982-1985. Gus Dur kerap mendengarkan lagu-lagu Janis Joplin dan Beethoven di mobil saat melakukan perjalanan dinas ke berbagai kota.
Bahkan, pada hari-hari terakhirnya, Gus Dur masih minta dibacakan buku oleh Inaya.
“Dibacakan sama aku, pagi itu sebelum Bapak meninggal. Kalau buku saat itu Bapak lagi baca “Mary, Queen of Scots”, tentang Queen Mary,” ujar Inaya menambahkan Gus Dur juga masih rutin minta dibacakan koran.
Seni yang melekat pada Gus Dur dan hobinya membaca buku menurun pada anak-anaknya. Bahkan istrinya ikut ketularan Gus Dur membaca buku-buku silat.
Gus Dur mungkin tidak sering hadir di tengah-tengah keluarganya, namun ia meninggalkan warisan yang dilanjutkan oleh anak-anak dan istrinya.
Sebelum mengembuskan napas terakhir, Gus Dur telah meminta maaf kepada anak-anaknya.
Gus Dur meminta maaf pada anak-anaknya karena tidak pernah menempatkan keluarga sebagai prioritas utama. Bagi Gus Dur, selalu ada agama, negara, ada NU, yang menjadi prioritas.
Inaya mengenang Gus Dur sebagai seorang bapak yang tidak pernah memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Kebersamaan mereka lebih banyak dibaluti canda dan tawa, bukan ceramah.
Jadi kalau Gus Dur dikatakan sosok yang demokratis, begitu pulalah sikap di rumahnya. Hal itu diyakini keluarga bukan sebagai pencitraan.
Hal itu bertentangan dengan sebagian orang yang di luarnya jualan demokratis, ternyata di dalam keluarga otoriter, sedangkan Gus Dur adalah sama antara sikap di luar dengan di dalam keluarga.
Inaya mengibaratkan, sejak dulu Gus Dur dan istrinya seperti tim yang saling melengkapi. Ibu Sinta memegang bagian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, sementara Gus Dur dalam hal memperjuangkan demokrasi.
Ketika Gus Dur sudah berpulang, akhirnya semua anak sama-sama meneruskan apa yang dibawa Gus Dur,
Bagi Inaya, warisan Gus Dur yang harus dijaga bukan berupa uang, tapi nilai-nilai hidup yang perlu terus dirawat dan dijaga.
Haul ke-14
Peringatan hari wafat (haul) Gus Dur, menjadi salah satu momentum keluarga Gus Dur untuk menyebarkan keteladanannya.
“Dulu waktu Bapak meninggal, terutama dari kelompok-kelompok termarjinalkan, mereka bilang: terus sekarang siapa ya yang menemani kami, Gus Dur-nya enggak ada, siapa yang akan bantu kami? Nah itu yang akhirnya kami rasa penting untuk meneruskan pekerjaan Bapak, karena memang belum selesai dan mungkin enggak akan pernah selesai. Jadi ya ada sama orang-orang itu ya saya rasa, yang jadi fuel ya, yang jadi bahan bakar untuk terus mau jalan,” papar Inaya.
Setiap anak-anak Gus Dur mendapat giliran untuk menjadi ketua panitia haul. Tahun ini, Inaya ditunjuk sebagai ketua panitia haul ke-14 Gus Dur yang akan digelar pada Sabtu, 16 Desember 2023.
Dalam setiap haul itu, keluarga selalu memperingati apa yang dilakukan Gus Dur selama hidupnya, pelajaran-pelajaran apa yang disampaikan oleh Gus Dur. Warisan Gus Dur itu disampaikan pada setiap haul.
Haul ke-14 Gus Dur mengusung tema “Meneladani Budaya Etika Demokrasi Gus Dur”.
Menurut Inaya, haul kali ini ingin membawa pemikiran-pemikiran dan kontribusi Gus Dur dalam demokrasi.
“Ketika kita ngomong demokrasi di negara ini, itu nanti yang akan kita omongin. Bahwa mungkin itu nanti akan berkaitan dengan situasi Indonesia hari ini ya ternyata masih relevan,” ungkap Inaya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Meneladani warisan abadi Gus Dur