Gus Dur mungkin tidak sering hadir di tengah-tengah keluarganya, namun ia meninggalkan warisan yang dilanjutkan oleh anak-anak dan istrinya.
Sebelum mengembuskan napas terakhir, Gus Dur telah meminta maaf kepada anak-anaknya.
Gus Dur meminta maaf pada anak-anaknya karena tidak pernah menempatkan keluarga sebagai prioritas utama. Bagi Gus Dur, selalu ada agama, negara, ada NU, yang menjadi prioritas.
Inaya mengenang Gus Dur sebagai seorang bapak yang tidak pernah memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Kebersamaan mereka lebih banyak dibaluti canda dan tawa, bukan ceramah.
Jadi kalau Gus Dur dikatakan sosok yang demokratis, begitu pulalah sikap di rumahnya. Hal itu diyakini keluarga bukan sebagai pencitraan.
Hal itu bertentangan dengan sebagian orang yang di luarnya jualan demokratis, ternyata di dalam keluarga otoriter, sedangkan Gus Dur adalah sama antara sikap di luar dengan di dalam keluarga.
Inaya mengibaratkan, sejak dulu Gus Dur dan istrinya seperti tim yang saling melengkapi. Ibu Sinta memegang bagian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, sementara Gus Dur dalam hal memperjuangkan demokrasi.
Ketika Gus Dur sudah berpulang, akhirnya semua anak sama-sama meneruskan apa yang dibawa Gus Dur,