Sebelum unggahan itu viral dan memancing kemarahan warga Muhammadiyah, hingga berujung pada laporan polisi tanggal 25 April di Bareskrim Polri dan sejumlah polda, Tim Patroli Siber Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Polri terlebih dahulu menemukan adanya dugaan ujaran kebencian bermuatan SARA yang bernada provokatif yang dilakukan oleh AP Hasanuddin.
Dari temuan tersebut, Tim Patroli Siber melakukan profiling si pengunggah, lalu menganalisis kontennya, jenis pelanggarannya, lalu memeriksanya kepada saksi ahli, yakni ahli bahasa, ahli ITE dan ahli hukum pidana. Setelah itu tim siber menerbitkan laporan informasi untuk diteruskan kepada penyidik Subdit II Dittipidsiber.
Direktur Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Adi Vivid A Bactiar menyatakan apa yang ditulis oleh AP Hasanuddin mengandung unsur tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan hasil analisis para ahli.
Dia menghalalkan darah semua warga Muhammadiyah, menakut-nakuti, pengancaman masalah pembunuhannya, yakni pada "akan saya bunuh satu per satu". Kata-kata tersebut, kata ahli, menghalalkan darah warga Muhammadiyah dan mengancam bunuh satu per satu. Dua frasa itu jelas mengandung unsur pidana.
Ancaman medsos
Akibat postingannya, AP Hasanuddin tidak hanya berurusan dengan pihak berwajib. Peneliti berusia 30 tahun itu menghadapi kemarahan warga Muhammadiyah. Sehingga saat akan ditangkap di kediamannya pada 30 April di Jombang, peneliti Astrologi itu sempat meminta perlindungan kepada polisi.
Saat ditampilkan kepada publik melalui media di Bareskrim Polri, Senin (1/5), AP Hasanuddin tidak bersedia untuk bicara ataupun menyampaikan permintaan maaf.
Dari keterangannya kepada penyidik, kalimat bernada ancaman dan ujaran kebencian itu ditulisnya sebagai bentuk kekhilafan dengan alasan lelah dan emosi karena diskusi panjang tiada akhir.
Penyidik juga memastikan tersangka tidak berniat untuk mewujudkan ancamannya untuk membunuh satu per satu warga Muhammadiyah.