Kini, 12 belas tahun setelah rampungnya ekspedisi tersebut, catatan pendakian, cerita pembentukan tim, suka dan duka ketika persiapan, sampai cerita di balik layar dari petualangan yang menghabiskan waktu 25 bulan tersebut, disajikan dalam bentuk buku berjudul Merah Putih di Atap Dunia yang diluncurkan pada 11 Mei 2023 di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung.
Buku dengan judul Merah Putih di Atap Dunia; upaya Menziarahi Puncak Tertinggi di Tujuh Benua, kata Litbang ekspedisi Seven Summits Indonesia Donny Rachmansjah, bukanlah bercerita tentang penaklukan alam karena ekspedisi tersebut tidak bertujuan untuk itu.
Lebih jauh, menurut Donny yang juga Koordinator Editor buku Merah Putih di Atap Dunia, dokumentasi tertulis itu lebih ingin menggambarkan perjalanan batiniah seluruh anggota tim.
Mulai dari persiapan anak-anak muda negeri tropis hingga bisa menyelesaikan ekspedisi tersebut, sampai hal ihwal gunung-gunung tersebut yang diposisikan bukan sebagai objek tujuan, tetapi sebagai subjek yang memiliki ekosistem dan budaya tersendiri.
Gunung-gunung tertinggi dunia yang didaki oleh tim ekspedisi ini, ucap Donny, memiliki makna dan kisah bagi masyarakat sekitar yang tergambarkan dalam nama gunung itu sendiri, seperti Gunung Nemangkawi (Cartenz Pyramid) di Pegunungan Jaya Wijaya, Papua, di mana kedua nama tersebut memiliki sejarah penamaannya tersendiri.
"Karenanya kami menyebutnya ziarah seperti yang tercantum di judul, karena ini upaya menziarahi puncak tertinggi di tujuh benua karena perjalanan ke puncak-puncak gunung itu merupakan upaya mengkhidmati bagaimana ekosistem dan sosio culture yang ada di sekitar gunung-gunung tersebut," ucapnya.
Penulisan buku yang penggarapannya dimulai dengan pengumpulan data, catatan, foto dokumentasi, hingga wawancara kesaksian--dari mulai terbentuknya tim ekspedisi, pendakian, hingga penyelesaian ekspedisi--, sebenarnya sebagian besar naskahnya telah ramping pada tahun 2014 dan pada tahun 2018 siap dicetak.
Mengenang pengibaran Merah Putih di 7 atap dunia
Jumat, 12 Mei 2023 15:00 WIB