Bandung (ANTARA) - Pada tahun 2012, enam pendaki asal Indonesia, yang tergabung dalam tim ekspedisi Seven Summits Indonesia Wanadri, berhasil menaklukkan puncak gunung terakhir yang juga tertinggi di dunia, yakni Everest.
Berita keberhasilan itu cukup menggemparkan, bukan hanya di dalam negeri, tapi juga dunia, karena keenam orang tersebut asli merupakan manusia-manusia tropis yang akrab dengan udara hangat. Meski demikian, mereka bisa menaklukkan puncak-puncak tertinggi dunia dengan iklim dan kondisi ekstrem yang berbeda 180 derajat dari tempat tinggal mereka.
Enam pendaki hebat tersebut, yakni Ardeshir Yaftebbi, Iwan Irawan, Martin Rimbawan, Fajri Al Luthfi, Nurhuda, dan Gina Afriani. Mereka akhirnya bisa melakukan pendakian ke puncak-puncak tertinggi di tujuh benua dengan kondisi ekstrem yang menyertai.
Untuk menaklukkan puncak gunung tersebut, anggota sedikitnya harus mempersiapkan diri selama 2 tahun, mulai dari latihan fisik, peningkatan stamina, pembentukan mental, porsi latihan di ketinggian, serta mengatasi konflik di lapangan yang harus dilalui seluruh anggota tim. Mereka akhirnya paripurna menjalani petualangan besar menaklukkan tujuh puncak dunia dalam periode 2010-2012.
"Bagaikan perjuangan pendirian negara Indonesia oleh pendahulu kita, perjalanan ekspedisi ini adalah sebuah perjuangan dengan pengorbanan yang juga penuh darah dan air mata," kata Ketua Umum Tim Ekspedisi Seven Summits Indonesia Wanadri Endriartono Sutarto di Bandung.
Puncak pertama yang ditaklukkan tim ini adalah Gunung Nemangkawi (Cartenz Pyramid) yang berketinggian 4.884 meter dari permukaan laut (mdpl) di Papua yang mewakili lempeng Australasia, pada April 2010.
Lalu Gunung Kilimanjaro (5.895 mdpl) di Tanzania yang mewakili Lempeng Afrika pada Juli 2010, Gunung Elbrus (5.642 mdpl) di Rusia mewakili Lempeng Eropa pada Agustus 2010, dan Gunung Aconcagua (6.962 mdpl) di Argentina yang mewakili lempeng Amerika Selatan pada 2010-2011.
Kemudian tim menaklukkan puncak Gunung Denali (6.197 mdpl) di Alaska yang mewakili lempeng Amerika Utara pada Mei 2011, Gunung Vinson Massif (4.897 mdpl) di Antartika mewakili lempeng Antartika pada Desember 2011-Januari 2012, dan Gunung Everest (8.848 mdpl) di Nepal mewakili puncak tertinggi di lempeng Asia sekaligus dunia pada Maret 2012 dan Juni 2012.
Kini, 12 belas tahun setelah rampungnya ekspedisi tersebut, catatan pendakian, cerita pembentukan tim, suka dan duka ketika persiapan, sampai cerita di balik layar dari petualangan yang menghabiskan waktu 25 bulan tersebut, disajikan dalam bentuk buku berjudul Merah Putih di Atap Dunia yang diluncurkan pada 11 Mei 2023 di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung.
Buku dengan judul Merah Putih di Atap Dunia; upaya Menziarahi Puncak Tertinggi di Tujuh Benua, kata Litbang ekspedisi Seven Summits Indonesia Donny Rachmansjah, bukanlah bercerita tentang penaklukan alam karena ekspedisi tersebut tidak bertujuan untuk itu.
Lebih jauh, menurut Donny yang juga Koordinator Editor buku Merah Putih di Atap Dunia, dokumentasi tertulis itu lebih ingin menggambarkan perjalanan batiniah seluruh anggota tim.
Mulai dari persiapan anak-anak muda negeri tropis hingga bisa menyelesaikan ekspedisi tersebut, sampai hal ihwal gunung-gunung tersebut yang diposisikan bukan sebagai objek tujuan, tetapi sebagai subjek yang memiliki ekosistem dan budaya tersendiri.
Gunung-gunung tertinggi dunia yang didaki oleh tim ekspedisi ini, ucap Donny, memiliki makna dan kisah bagi masyarakat sekitar yang tergambarkan dalam nama gunung itu sendiri, seperti Gunung Nemangkawi (Cartenz Pyramid) di Pegunungan Jaya Wijaya, Papua, di mana kedua nama tersebut memiliki sejarah penamaannya tersendiri.
"Karenanya kami menyebutnya ziarah seperti yang tercantum di judul, karena ini upaya menziarahi puncak tertinggi di tujuh benua karena perjalanan ke puncak-puncak gunung itu merupakan upaya mengkhidmati bagaimana ekosistem dan sosio culture yang ada di sekitar gunung-gunung tersebut," ucapnya.
Penulisan buku yang penggarapannya dimulai dengan pengumpulan data, catatan, foto dokumentasi, hingga wawancara kesaksian--dari mulai terbentuknya tim ekspedisi, pendakian, hingga penyelesaian ekspedisi--, sebenarnya sebagian besar naskahnya telah ramping pada tahun 2014 dan pada tahun 2018 siap dicetak.
Namun, karena satu dan lain hal, buku tersebut baru bisa dipublikasi saat ini dengan jumlah 1.500 eksemplar.
Berziarah untuk Indonesia
Indonesia yang saat ini terbilang muda untuk ukuran bangsa, masih terus berusaha untuk mencetak kebanggaannya lewat prestasi mendunia di bidang rekayasa teknologi sampai olahraga yang sekarang baru ditelurkan lewat panjat tebing, angkat besi, dan bulu tangkis.
Dominannya usia muda penduduk Indonesia hendaknya tidak menjadi alasan untuk tidak mencetak berbagai prestasi, justru seharusnya muda suatu usia menjadi dorongan semangat tinggi untuk menelurkan prestasi-prestasi yang mendunia.
Indonesia, sesungguhnya memiliki modal sangat besar, yaitu semangat yang diwarisi oleh para pendiri bangsa yang telah menegakkan NKRI dengan wilayah dari Sabang sampai Merauke, bukan dari hasil belas kasihan atau hadiah, tapi lewat perjuangan dan pengorbanan segenap anak bangsa.
Kobaran semangat para pendahulu tersebut, menurut dia, harus diperlakukan bagaikan bara api yang siap membakar tungku perapian semangat generasi muda untuk menciptakan prestasi gilang- gemilang dalam berbagai bidang yang dapat berkontribusi bagi rasa bangga masyarakat Indonesia kepada bangsanya.
Karena dengan kebanggaan itu, bangsa Indonesia dapat terus bertumbuh, bukan saja menjadi bangsa dengan negara yang merdeka dan berdaulat, namun menjadi sebuah bangsa yang besar, dihormati, dan disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
"Dengan kesadaran akan kebanggaan itu, beberapa anak muda memiliki suatu niat untuk menziarahi tujuh puncak tertinggi di dunia yang akhirnya terealisasi beberapa tahun lalu. Namun tidak pas rasanya kalau rasa bangga itu tidak ditularkan sebagaimana tujuan awal. Semoga dengan hadirnya buku catatan bersejarah Merah Putih di Atap Dunia ini, meyakinkan bahwa kita bisa," ucap Endriartono Sutarto.
Peluncuran buku tersebut, kata mantan Panglima TNI itu, merupakan hal yang biasa, namun buku Merah Putih di Atap Dunia ini memiliki makna penting bagi Indonesia secara umum yaitu kebanggaan.
"Karena kebanggaan adalah satu hal yang penting bagi satu bangsa untuk menjadi besar," katanya.
Sumbangsih untuk Dunia
Cerita keberhasilan enam petualang negeri khatulistiwa dari Wanadri dalam menyambangi puncak-puncak tertinggi di dunia, memang patut untuk diabadikan.
Pasalnya, misi tersebut tak melulu soal penaklukan puncak-puncak tertinggi dunia, namun juga dibarengi pengapresiasian besar pada kultur lokal serta membawa kampanye atas perubahan iklim dunia yang makin mengkhawatirkan.
"Kami memang bukan yang pertama melakukannya, namun semangat kami lebih dari itu, yakni agar orang bisa tergerak menjaga keseimbangan ekosistem dan alam secara lebih luas," kata Donny Rachmansjah menjelaskan tujuan pendokumentasian ekspedisi tersebut.
Dokumentasi tertulis memang bukanlah budaya yang melekat bagi bangsa Indonesia. Jika dibandingkan dengan Jepang yang maksimal memiliki penduduk sepertiga dari jumlah warga Indonesia yang hampir 300 juta jiwa, produksi buku mereka per tahun bisa 10 kali lipat jumlah warganya.
Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yang melihat seharusnya cerita-cerita masyarakat, apalagi yang inspiratif seperti tim ekspedisi Seven Summits Indonesia, memang layak dipublikasi, bukan hanya sebagai pendorong semangat anak bangsa, tapi juga warisan atas pesan yang ingin disampaikan pada dunia.
"Karena hidup harus punya tujuan, dan tujuan terbaik dari hidup adalah memberi manfaat bagi manusia lainnya seperti yang disyariatkan," ucap Rudwan Kamil.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengenang pengibaran Merah Putih di tujuh atap dunia
Mengenang pengibaran Merah Putih di 7 atap dunia
Jumat, 12 Mei 2023 15:00 WIB