Sebagai bangsa yang mengandalkan kedelai impor untuk kebutuhan produsen tahu dan tempe, sudah semestinya semua pun mengantisipasi bila suatu saat negeri ini kesulitan memperolehnya.
Rendahnya produksi kedelai di negara ini, salah satunya disebabkan oleh produktivitas yang masih rendah, selain luas panen yang apa adanya.
Produktivitas kedelai kuintal/hektare pada tahun 2014 terekam sebesar 15,5, kemudian melorot jadi 14,44 pada tahun 2018. Luas panen terlihat seperti jalan di tempat. Pada tahun 2014 tercatat 615.685 hektare, sedangkan pada tahun 2018 tercatat sebesar 680.373 hektare.
Disodorkan pada fenomena yang semacam ini, tentu semua pihak mestinya tidak bisa lagi berdiam diri menyaksikan apa yang tengah terjadi.
Kedelai, suka atau tidak, kini telah tampil menjadi kebutuhan sebagian besar warga bangsa yang hidup di negeri ini. Kedelai setelah diolah menjadi tahu dan tempe, merupakan santapan utama sekaligus kebanggaan golongan ekonomi menengah hingga ke bawah.
Bagi mereka, kalau makan tanpa tahu atau tempe ibarat sayur tanpa garam. Semua ini terjadi karena daya beli mereka yang rendah. Kalau saja mereka punya daya beli, pasti mereka pun ingin merasakan bagaimana lezatnya masakan Jepang atau Korea yang dipatok harganya 200 ribu rupiah per orang.
Sayang sekali mereka tidak memiliki kemampuan untuk itu. Mereka sudah cukup senang, bila Pemerintah menjaga keberadaan tahu dan tempe dalam kehidupan kesehariannya.
Bila sampai sekarang bangsa ini belum mampu memproduksi kedelai seperti kedelai dari Amerika dengan produksi yang cukup tinggi, sebaiknya mulai dipikirkan bagaimana solusinya agar proses produksi perajin tahu dan tempe menjadi tidak terganggu dan tetap berjalan lancar, dikarenakan ada sesuatu hal yang tidak terpikirkan dengan cerdas.