"Mereka yang dianggap tidak keren, tidak bagus, atau tidak kekinian bisa tereksklusi atau tersisihkan dari dunia pergaulan, karena memang salah satu akibat dari fashion adalah menciptakan struktur sosial semu dalam dunia pergaulan," ucap Wahyu Nugroho.
Aspek ketiga yang muncul dari fenomena Citayam fashion week adalah budaya konsumerisme yakni ketika muda-mudi ini menghabiskan lebih banyak uang untuk penampilan daripada untuk hal-hal lain yang lebih produktif, misalnya untuk pendidikan mereka, apalagi jika mereka sampai harus berutang atau mengajukan kredit agar bisa berpenampilan seperti yang mereka inginkan.
Tujuan wisata baru
Wahyu menilai Citayam Fashion Week idealnya tak hanya sekadar menjadi ajang mempertontonkan atau menukarkan berbagai kode dan simbol di kalangan anak muda, tetapi juga bisa memupuk modal sosial di antara mereka.
"Modal sosial ini jika dikelola dengan baik, bisa disalurkan untuk hal-hal produktif misalnya membuat proyek bersama yang berkaitan dengan media sosial sehingga bisa memperoleh pemasukan darinya, atau bisa juga dengan mengajukan proposal ke pihak-pihak tertentu guna menggelar kegiatan kepemudaan yang positif dan masih berkaitan dengan fashion," kata dia.
Tak menutup kemungkinan pula, menurut Wahyu, kegiatan ini menjelma menjadi festival per pekan dan menjadi sarana merintis kewirausahaan muda di kalangan muda-mudi.
Di sisi lain, menurut dia, festival ini juga bisa merangsang kegiatan ekonomi masyarakat sekitar, terlebih jika Citayam Fashion Week menjadi tujuan wisata baru bagi masyarakat luas, tepatnya wisata fashion.
Jika bisa demikian, Wahyu merekomendasikan agar pemerintah setempat memfasilitasi kegiatan tersebut, dan tertutup kemungkinan kondisi ini juga akan muncul di kota-kota besar lain karena Jakarta selalu menjadi trendsetter.*
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sosiolog: Seni bermain kode dan simbol di 'Citayam Fashion Week'