Wahyu, demikian sapaan akrab penulis buku Sosiologi Kehidupan Sehari-hari mencontohkan kode atau simbol fashion yang menunjukkan kecantikan, kefemininan, kemaskulinan atau kemachoan, jiwa muda, keunikan, bahkan juga kode atau simbol fashion yang menunjukkan pemberontakan memang sengaja diciptakan untuk menyuarakan karakter seseorang lewat penampilan atau bisa juga membuat seseorang merasa menjadi demikian setelah menggunakannya.
Dengan kata lain, kode-kode atau simbol fashion juga kata Wahyu memiliki dimensi performativitas (kemampuan bertindak); ia bisa menyuarakan sesuatu, memberikan informasi tertentu, bahkan menunjukkan status dan derajat seseorang dalam dunia pergaulan.
Budaya konsumerisme
Sosiolog Universitas Udayana, Magister alumnus Prodi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada tersebut menjelaskan ada beberapa dampak sosial yang bisa muncul dari fenomena Citayam Fashion week tersebut.
Pertama, munculnya masyarakat tontonan, yakni masyarakat atau dalam hal ini muda-mudi Citayam yang saling mempertontonkan kode-kode atau simbol yang ditunjukkan satu sama lain lewat fashion yang mereka kenakan. Fenomena tersebut lambat laun bisa juga ditiru oleh muda-mudi di daerah lain di Indonesia.
Secara sosiologis, kata dia, fenomena masyarakat tontonan memang selalu berpotensi meluaskan skalanya, apalagi jika sudah diliput media massa.
"Dalam fenomena masyarakat tontonan, muda-mudi di Citayam ini saling bertukar simbol dan ketika muda-mudi lain ingin memasuki komunitas ini, mereka pun juga harus memiliki simbol untuk dipertukarkan, konkretnya adalah dengan berpenampilan seperti muda-mudi di Citayam," kata Direktur Utama Sanglah Institut Wahyu Nugroho.
Kedua, munculnya "social distinction" atau jarak sosial dengan muda-mudi lain. Penggunaan kode-kode atau simbol tertentu dalam fashion, kata dia, berpotensi memunculkan definisi tentang apa yang dianggap keren dan tidak keren, apa yang bagus dan tidak bagus, serta apa yang dianggap kekinian dan tidak kekinian di kalangan anak muda.