Jakarta (ANTARA) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan Fatwa MUI Nomor 32 Tahun 2022 tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban Saat Kondisi Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang memperbolehkan sebagian hewan dengan penyakit PMK sebagai hewan kurban.
Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Ni'am Soleh di Jakarta, Jumat, mengatakan berkurban dengan hewan terjangkiti PMK dinyatakan sah apabila gejala penyakit pada hewan tersebut masih dalam taraf gejala ringan.
"Hukum kurban dengan hewan yang terkena PMK itu dirinci sebagai hewan dengan gejala klinis ringan dia memenuhi syarat. Ini penting menurut hemat saya untuk dijadikan panduan dan juga pedoman bagi masyarakat, termasuk juga pekurban, tenaga kesehatan, tidak semua jenis hewan yang terkena PMK itu tidak serta-merta tidak memenuhi syarat," kata Ni'am.
Hewan ternak terjangkit PMK dengan gejala ringan yaitu lesu, tidak nafsu makan, demam tetapi tidak menjadi menjadi faktor utama, lepuh pada sekitar kuku dan dalam mulut namun tidak sampai menyebabkan pincang dan tidak sampai menyebabkan kurangnya berat badan secara signifikan. Kondisi lepuh tersebut juga dapat disembuhkan dengan pengobatan luka agar tidak terjadi infeksi sekunder.
Sedangkan hewan terjangkit PMK yang tidak sah untuk berkurban yaitu yang memiliki gejala berat yang ditandai dengan lepuh pada kuku dan membuat kuku terlepas, menyebabkan tidak bisa jalan, atau berjalan dengan pincang.
Sementara apabila ada hewan kurban bergejala berat yang kemudian kembali dinyatakan sehat pada masa diperbolehkannya berkurban, yaitu tanggal 10 - 13 Dzulhijjah sebelum azan Maghrib, maka hewan tersebut sah untuk dikurbankan.
Namun apabila hewan tersebut sembuh dari PMK setelah melewati masa diperbolehkannya berkurban, maka penyembelihan hewan tersebut dianggap sebagai sedekah.
Ni'am menjelaskan bahwa syarat dan rukun kurban satu ketentuannya adalah hewan tersebut dalam kondisi sehat dan tidak cacat. Ni'am menjelaskan ada ketentuan secara syar'i yang mendefinisikan jenis sakit dan juga jenis cacat yang boleh dan juga tidak boleh.
Tidak semua jenis sakit itu tidak boleh, dan tidak semua jenis cacat juga tidak boleh. Disebutkan bahwa kondisi sakit yang ringan dan kondisi cacat yang ringan itu bisa memenuhi keabsahan dengan syarat tidak mempengaruhi tampilan fisik dan atau kualitas daging hewan kurban tersebut.
Idul Adha tunggu isbat
Sebelumnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau warga Muslim menunggu hasil sidang isbat Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriah yang melibatkan pemerintah dan seluruh organisasi massa Islam menyusul adanya kemungkinan perbedaan penetapan Hari Raya Idul Adha antara pemerintah dan Muhammadiyah.
"Ketinggian derajat hilal sepakat ahli hisab kurang lebih dua derajat. Menurut perhitungan MABIMS itu masih di bawah 3 derajat kemungkinannya bisa dilihat, tapi walaupun demikian, keharusan untuk melihat rukhiyatul hilal," kata Ketua MUI Bidang Pendidikan dan Kaderisasi Abdullah Jaidi sebagaimana dikutip dalam keterangan tertulis MUI yang diterima di Jakarta, Selasa.
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional Thomas Djamaluddin sebelumnya mengemukakan kemungkinan adanya perbedaan antara pemerintah dan Muhammadiyah dalam penetapan Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriah/2022 Masehi karena keduanya menggunakan metode yang berbeda.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang menggunakan kriteria Wujudul Hilal, telah menetapkan tanggal 10 Dzulhijah 1443 Hijriah, Hari Raya Idul Adha, jatuh pada Sabtu, 9 Juli 2022.
Menurut Muhammadiyah, tanggal 1 Dzulhijah 1443 Hijriah jatuh pada 30 Juni 2022 karena pada saat maghrib 29 Juni 2022 di Indonesia posisi bulan sudah di atas ufuk, artinya kriteria Wujudul Hilal telah terpenuhi. Berdasarkan perhitungan itu, Muhammadiyah menetapkan Hari Raya Idul Adha jatuh pada 9 Juli 2022.
Sedangkan pemerintah menentukan awal bulan Dzulhijah berdasarkan kriteria baru yang disepakati oleh Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).
Menurut perhitungan pemerintah berdasarkan kriteria baru MABIMS, di Indonesia pada saat maghrib 29 Juni 2022 tinggi bulan umumnya kurang dari 3 derajat dan elongasinya kurang dari 6,4 derajat. Artinya, hilal terlalu tipis untuk bisa mengalahkan cahaya syafak yang masih cukup kuat sehingga hilal tidak mungkin dapat dirukyat.
Dengan kondisi yang demikian, berdasarkan hisab imkan rukyat atau visibilitas hilal tanggal 1 Dzulhijah 1443 Hijriah kemungkinan jatuh pada 1 Juli 2022 dan Hari Raya Idul Adha jatuh pada 10 Juli 2022.
Namun demikian, pemerintah akan menggelar sidang isbat untuk menetapkan Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriah.
Jaidi menghimbau warga Muslim saling menghormati keputusan dalam merayakan Idul Adha dan menunaikan puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah.
"Jadi artinya 9 Dzulhijah itu Hari Arafah (atau) hari tasuha di tanggal 9 Dzulhijjah. Bagi kita yang di luar menunaikan ibadah haji disunahkan untuk berpuasa 9 Dzulhijah walaupun saudara kita sudah berlebaran haji," kata dia.
Dia menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan umat pada masa hoaks yang mendiskreditkan umat Islam banyak beredar seperti sekarang.
"Jadi harus menyatukan barisan kita, menyatukan semangat untuk kepentingan agama dan negara. Itu semangatnya yang tidak boleh kendor," kata dia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: MUI tetapkan fatwa berkurban hewan dengan PMK
Fatwa MUI untuk yang berkurban hewan yang terjangkit PMK
Jumat, 10 Juni 2022 23:18 WIB