Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum pidana Suparji Ahmad mengatakan penonaktifan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan kewenangan pimpinan lembaga antirasuah tersebut dalam melaksanakan Undang-Undang (UU) nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan peraturan pelaksananya.
"Namun demikian, ada ketentuan normatif yang hendaknya juga diperhatikan, yakni putusan MK nomor 70 tahun 2021 bahwa alih status pegawai KPK tidak boleh merugikan pegawai KPK," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Ia mengatakan dengan diberlakukan Undang-Undang KPK yang baru, lembaga antirasuah itu masih bisa melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
"Mulai dari bupati hingga menteri. Melihat fakta tersebut berarti KPK lemah tidak sepenuhnya benar karena masih berdaya dan bertaji," kata Suparji.
Oleh sebab itu, lanjut Akademisi Universitas Al-Azhar tersebut, saat ini tidak perlu lagi meratap terus memainkan isu pelemahan KPK. Akan lebih baik mendorong KPK agar tetap produktif dalam memberantas korupsi.
Terkait dengan peralihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal itu merupakan salah satu kewenangan dari pimpinan KPK dalam melaksanakan Undang-Undang KPK serta peraturan pelaksananya terkait dengan peralihan status pegawai.
"Tentunya proses peralihan tersebut diharapkan sesuai dengan ketentuan peraturan. Perlu dan asas-asas umum pemerintahan yang baik," ujar dia.
Jika pihak yang menerima keputusan tersebut merasa dirugikan dan berpendapat adanya peraturan dan asas umum pemerintahan yang dilanggar, dapat diuji melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Baca juga: KPK: 75 pegawai bukan dinonaktifkan tapi diminta serahkan tugas ke atasan
Baca juga: Bupati Nganjuk ditetapkan sebagai tersangka
Pakar Hukum: Penonaktifan 75 pegawai KPK sebagai pelaksanaan Undang-Undang
Minggu, 16 Mei 2021 15:15 WIB