Jakarta (ANTARA) - Teh, seperti halnya kopi, adalah komoditas perkebunan yang merambah berbagai belahan dunia. Tak terkecuali di Indonesia, minum teh, pada beberapa daerah juga dijadikan tradisi untuk merasakan nikmatnya kehidupan.
Namun, jika dibandingkan dengan tradisi minum kopi atau "ngopi", di kota-kota besar budaya minum teh atau "ngeteh", sepertinya belum sepopuler kopi.
Parameter sederhanya, warung kopi (warkop), kedai kopi, kafe kopi, amat mudah dicari, bahkan di berbagai pelosok.
Namun, untuk usaha dan jasa sejenis pada teh, agaknya tidak semudah mencarinya ketimbang kopi.
Jika pun ada, setidaknya jumlahnya belum terlalu banyak, untuk tidak menyebut minim.
Salah satu yang bisa diakses publik, barangkali adalah di area yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII, anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang bergerak di bidang pengelolaan sektor perkebunan, meliputi wilayah kerja Provinsi Jawa Barat dan Banten.
Sebagai bagian dari pengembangan agrowisata di kawasan Kebun Gunung Mas, Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, di area tersebut diprogramkan wisata tematik berbasis edukasi tentang pertanian dan perkebunan, yakni wisata kebun teh, wisata pabrik teh hijau, dan wisata berbasis panorama dan kesejukan udara, seperti "tea walk" dan juga "outbound".
Sebagai perkebunan teh yang dibuka untuk umum, Gunung Mas yang berada di ketinggian 800-1.200 meter di atas permukaan laut dengan suhu udara yang sejuk di kisaran 12-22 derajat Celcius, selama ini selalu menjadi tujuan wisata yang ramai.
Di kawasan perkebunan Gunung Mas inilah masyarakat bisa menjumpai "Tea Corner" dan "Teh Cafe", di mana pengunjung dapat bersantai dan menikmati seduhan teh dan juga kudapan. Malahan, dengan menunjukkan tiket masuk, pengunjung mendapat sebungkus teh Walini dari Front Office secara cuma-cuma.
Di luar Indonesia, tradisi minum teh juga menjadi ikon pada sejumlah negara. Sebut saja Inggris dan China, yang sudah kesohor.
Selain itu, juga ada tradisi kuat di negara, seperti Maroko, Rusia, Argentina, India, Iran, Pakistan, Jepang, dan juga Korea Selatan.
Mengembangkan varian
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Kasdi Subagyono merujuk pada arahan Mentan Syahrul Yasin Limpo mengapresiasi berbagai inovasi dalam pengembangan varian olahan produk perkebunan oleh para produsen, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan bersaing di pasar, baik lokal maupun global.
Mentan sendiri pada webinar menuju era normal baru pada Jumat (5/6/2020) mengatakan dengan pandemi COVID-19 ini semakin disadari bahwa pertanian tidak boleh lagi diolah dengan cara yang biasa.
"Harus ada inovasi dan ide-ide kreatif dalam mengelola pertanian. Di mana penerapan inovasi menjadi bagian dari terobosan yang dilakukan untuk meningkatkan daya saing untuk mendukung ekspor produk-produk pertanian," katanya melalui pernyataan di laman http://ditjenbun.pertanian.go.id.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan produksi teh dalam negeri beberapa tahun terakhir cenderung melandai karena pengurangan areal perkebunan
Dalam laman https://kemenperin.go.id/artikel/21499/Menggairahkan-Kembali-Industri-Teh-Nasional disebutkan bahwa produksi teh dalam negeri beberapa tahun terakhir cenderung melandai karena pengurangan areal perkebunan.
Dengan rujukan data Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan produksi daun teh kering dalam negeri bergerak fluktuatif dalam lima tahun terakhir, di mana produksi tertinggi daun teh kering sebanyak 154.369 ton terjadi pada 2014.
Kemudian, produksi teh di dalam negeri hanya berkutat pada kisaran 130.000—140.000. Bahkan, produksinya hanya sekali menyentuh angka 140.000 ton, yakni pada 2017.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim juga mengemukakan kondisi luas areal perkebunan teh di dalam negeri yang terus mengalami penurunan.
Tercatat, luas perkebunan areal teh pada 2014 yang mencapai 118.899 hektare (ha), turun menjadi 104.420 ha pada 2018.
Berkurangnya luas areal perkebunan teh di dalam negeri itu terjadi karena para pekebun kurang termotivasi, karena terdapat Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Produk Primer untuk teh.
Kurangi kemiskinan
Begitu strategisnya komoditas teh ini sehingga Badan Pangan Dunia (FAO) menyebutkan sektor teh terus memainkan peran dalam "mengurangi kemiskinan ekstrem", memerangi kelaparan dan menjaga sumber daya alam.
Menurut National Communication Adviser FAO Indonesia Siska Widyawati, Majelis Umum PBB menyatakan bahwa 21 Mei sebagai Hari Teh Internasional.
Dalam konteks itu, terdapat sejumlah fakta menarik tentang teh, yakni asal usul teh sudah ada sejak lebih dari 5.000 tahun, tetapi kontribusinya terhadap kesehatan, budaya, dan perkembangan sosial ekonomi masih relevan saat ini.
Ia menyebutkan teh saat ini ditanam di lebih dari 35 negara, dan mendukung lebih dari 13 juta orang, termasuk petani kecil dan rumah tangga mereka, yang bergantung pada sektor teh untuk mata pencaharian.
"Petani kecil bertanggung jawab atas 60 persen produksi teh dunia," katanya.
Selain itu, teh mendukung mata pencaharian 9 juta petani kecil di empat negara penghasil utama, yakni Cina, India, Kenya, dan Sri Lanka.
Produksi teh global berjumlah lebih dari 16,6 miliar Dolar AS.
Teh adalah minuman yang paling banyak dikonsumsi di dunia, setelah air.
Produksi dan perdagangan teh berkontribusi terhadap mata pencaharian, pendapatan ekspor, keamanan pangan, dan pendapatan di banyak bagian dunia, terutama di beberapa daerah perdesaan termiskin.
Produksi dan pemprosesan teh adalah sumber mata pencaharian utama bagi jutaan keluarga, terutama di negara-negara berkembang.
Karena itu, pada perayaan Hari Teh Internasional selalu dilakukan kegiatan mempromosikan produksi, konsumsi, dan perdagangan teh yang berkelanjutan, dan menawarkan kesempatan bagi para pelaku di tingkat global, regional dan nasional untuk memastikan bahwa sektor teh terus memainkan peran dalam mengurangi kemiskinan ekstrem, memerangi kelaparan dan menjaga sumber daya alam.
Pendapatan ekspor teh membantu membiayai tagihan impor makanan, mendukung ekonomi negara-negara penghasil teh utama.
Kondisi agroekologi spesifik di mana teh tumbuh subur di daerah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim sehingga untuk memastikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan, rantai nilai teh harus berkelanjutan di semua tahap, dari ladang ke cangkir.
Melihat potensi besar yang ada, sudah semestinya kini problematika yang dilihat sebagai kendala untuk mengangkat lagi peluang teh Indonesia di kancah dunia, mesti dicarikan jalan keluarnya, sehingga selain petani dan pekebun bisa lebih sejahtera, juga bisa mengangkat lagi tradisi minum teh sebagai kebiasaan masyarakat luas.