Jakarta (ANTARA) - Perang terhadap virus corona baru (COVID-19) memasuki babak baru setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan dunia masuk pada kondisi pandemi pada Rabu (11/3) dan memperingatkan bahwa kondisi bisa lebih buruk lagi.
Data terkini WHO menyebutkan virus corona sudah menginfeksi 118.000 orang di 114 negara dan telah menelan 4.291 korban jiwa. Diperkirakan jumlah tersebut akan terus meningkat.
Ribuan lainnya berjuang untuk hidup di rumah sakit seantero dunia, sebagian dengan fasilitas memadai, sedangkan lainnya dengan fasilitas seadanya.
Pandemi adalah wabah yang berjangkit serempak, terjadi di mana-mana, meliputi wilayah yang luas.
Penetapan pandemi oleh WHO menunjukkan wilayah yang terjangkiti corona sudah meluas sebagaimana data terakhir yang mereka keluarkan, meski dalam pernyataannya terjadi penurunan kasus di empat negara terbesar, antara lain China dan Korea Selatan.
Di sisi lain, 81 negara tidak melaporkan kasus corona dan 57 negara yang melaporkan 10 kasus atau kurang.
Pernyataan pandemi sesungguhnya bisa menimbulkan risiko, meskipun memiliki sisi positif terkait dengan pencegahan dan penanganan agar lebih serius dan masif. Risikonya, pernyataan pandemi bisa menimbulkan kepanikan dan putus asa.
Kondisi itu yang sempat dialami Indonesia, ketika dunia sudah mulai was-was melihat perkembangan di China dan kasus merebak di sejumlah negara, negara ini terkesan santai dan menyatakan kondisi aman serta tidak ditemukan kasus.
Negeri ini tersentak ketika Arab Saudi pada Kamis (27/3), menghentikan penerbitan visa umrah untuk sejumlah negara, termasuk Indonesia, guna mencegah merebaknya Corona virus disease 2019 (COVID-19).
Kepercayaan itu mulai goyah. Dunia mempertanyakan kondisi Indonesia. Jagad dunia maya di media sosial bergejolak.
Pertanyaan utama, apa benar tidak ada kasus corona di Indonesia sementara di negeri jiran, Malaysia dan Singapura, sudah terjangkiti.
Kemampuan Indonesia mendeteksi dipertanyakan.
Selang empat hari kemudian, Istana mengumumkan dua pasien positif COVID-19. Ibu (64) dan anak (31), warga Depok itu terpapar setelah kontak dengan warga Jepang yang berdomisili di Malaysia di sebuah restoran di Jakarta Selatan.
Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof Sulianti Saroso Jakarta sudah mendeteksi pada Minggu (1/3) dan pemerintah mengumumkannya sehari kemudian.
Reaksi beragam
Reaksi masyarakat beragam. Ada yang kaget, ada juga yang memborong bahan pokok. Masker, dilaporkan di sejumlah daerah susah didapat dan harganya menjulang.
Jawaban atas pertanyaan penanganan dan kelangkaan masker menimbulkan kekecewaan. Pernyataan bahwa penyakit yang membunuh ribuan orang dalam waktu tiga bulan itu, dinilai sebagai penyakit flu biasa karena bisa sembuh dengan sendirinya, direspons negatif.
Sebagaimana kasus penyakit menular yang meluas lainnya, jumlah yang terjangkit serta sebaran penyakit adalah satu masalah serta kepanikan adalah masalah lain.
Di banyak kasus, kepanikan masyarakat, gagap dalam penanganan, komentar miring dan nyinyir serta tindakan yang lamban, menyita perhatian dan membuat para pihak lupa pada masalah utama.
Sebelum kontroversi penanganan dan dampak yang ditimbulkannya meluas, pada Selasa (3/3), pemerintah mengangkat Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto sebagai juru bicara untuk penanganan COVID-19.
Yurianto menjalankan tugasnya dengan baik. Hari-hari berikutnya, media massa di Indonesia selalu dihiasi keterangannya tentang kondisi terakhir dan langkah penanganan penyakit yang belum ditemukan obatnya tersebut.
Bintangnya pun bersinar. Seminggu kemudian, tepatnya Senin (9/3), Achmad Yurianto dilantik menjadi Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan.
Tidak sedikit
Seperti dugaan sebelum, kasus positif COVID-19 di Indonesia tidak sedikit. Dalam berbilang hari, jumlah mereka yang terinfeksi terus bertambah.
Data terakhir per Rabu (11/3), 34 orang positif COVID-19, satu meninggal (warga negara asing) dan ratusan lainnya berstatus sebagai orang dalam pengawasan (ODP).
Banyak pihak meyakini bahwa kondisi ini akan semakin berlarut. Di sisi lain, dunia sudah berancang-ancang untuk menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam sejarah.
Di satu sisi, Indonesia berpacu untuk menekan dan memutus mata rantai penularan, di sisi lain dampak yang ditimbulkan juga butuh penanganan serius.
Dunia melakukan sejumlah pencegahan penularan dengan meniadakan keramaian, menghindari terkonsentrasinya massa di satu tempat. Pertandingan olahraga, seperti sepak bola, balap mobil dibatalkan atau diselenggarakan tanpa penonton.
Jakarta menunda penyelenggaraan Formula E atau Jakarta ePrix (balap mobil formula bertenaga listrik) untuk mencegah penularan virus corona meluas di Ibu Kota.
Menimbang kondisi terakhir, Dewan Pertimbangan MUI meminta pemerintah meningkatkan keprihatinan tinggi, bersikap jujur, terbuka dengan menyadari krisis ini sebagai musibah besar dan menyatakan Indonesia Darurat Wabah COVID-19.
Permintaan itu wajar agar semua energi yang dimiliki bangsa ini dikonsentrasikan pada penanganan kasus dan menekan dampak negatif yang mulai meluas.
Potensi bangsa ini perlu digugah kembali untuk bersatu, bahu membahu dalam menghadapi krisis penyakit dan ikutannya, baik dari sisi sosial maupun ekonomi.
Sudahi pertengkaran yang tidak perlu, dan kini saatnya swasta menunjukkan kepedulian dengan membuka rumah sakitnya dan ruang isolasi untuk sosial jika kasus positif meningkat tajam.
Masyarakat diajarkan untuk berhemat, jangan panik dan tidak memborong bahan pokok dalam jumlah berlebihan.
Indonesia bangsa besar. Sudah banyak terbilang ujian, kini perlu pembuktian lagi karena dunia menghadapi babak baru perang corona.
Baca juga: CONMEBOL desak FIFA tunda kualifikasi Piala Dunia di Amerika Selatan
Baca juga: Polda Jabar imbau masyarakat waspadai kejahatan modus baru kaitkan virus corona