Jakarta (ANTARA) - Lembaga Biologi Molekuler Eijkman melaporkan dua varian baru virus corona asal Indonesia, yakni B1466.2 dan B1470 telah menyebar ke sejumlah provinsi di Tanah Air.
"Kalau yang varian B1466.2 itu sudah ada 1.225 kasus dan B1470 sudah 531 kasus di Indonesia," kata Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio yang dikonfirmasi ANTARA melalui sambungan telepon di Jakarta, Kamis.
Ia mengemukakan varian B1466.2 yang ditemukan kali pertama pada November 2020 di Jawa Barat, sedangkan yang paling banyak dilaporkan muncul di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Sedangkan varian B1470 mencapai 531 kasus sejak pertama ditemukan di Jawa Timur pada April 2020. Paling banyak dilaporkan muncul di Provinsi Bali dan Jawa Barat.
Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Klinik itu mengatakan berbagai publikasi ilmiah menunjukkan bahwa varian lokal tersebut belum tergolong "Variant of Concern" (VOC) maupun Variant of Interest (VOI) yang sedang diawasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Namun, Amin tetap mengingatkan masyarakat untuk tetap mewaspadai varian lokal itu mengingat angka kasusnya sempat mendominasi sejumlah daerah.
"WHO hanya mengingatkan kita bawa varian Indonesia ini jumlahnya banyak, sempat mendominasi berapa bulan yang lalu. Maka kita harus tetap mewaspadai karena ia memiliki beberapa pola mutasi yang juga ada di VOI. Saat ini belum ada satupun varian lokal Indonesia yang masuk dalam VOI atau VOC," katanya.
Berdasarkan panduan WHO, kata dia, virus dapat diklasifikasikan sebagai VOC maupun VOI bila memenuhi salah satu atau kombinasi dari empat sifat.
Pertama, yang paling banyak dikaitkan adalah kecepatan penularan virus. "Jadi mutasi yang terjadi mengakibatkan virus lebih cepat menular. Dia bisa berikatan dengan reseptor pada sel manusia dengan lebih kuat sehingga virus lebih cepat masuk ke dalam sel itu kemudian diterjemahkan menjadi cepat menular," ujarnya.
Sifat yang kedua, apakah virus tersebut lebih sulit untuk di diagnosis. "Artinya kepekaan tes PCR itu menjadi menurun," katanya.
Sifat ketiga, virus tersebut menyebabkan gejala klinis yang tidak biasa, misalnya muncul kemerahan di kulit atau gejala lain yang tidak tidak muncul pada varian lain atau menyebabkan kematian lebih cepat, kata Amin.
Sifat keempat, virus tersebut tidak responsif terhadap antibodi yang terbentuk pascainfeksi pada penyintas, pascavaksinasi, maupun pada pasien terapi. "Orang yang sudah sakit itu kadang diberikan antibody monoklonal itu beberapa VOC menurun kepekaannya," katanya.
Varian VOI dan VOC hampir memiliki sifat yang sama. Namun kriteria virus VOC dinilai lebih ganas sebab bisa memicu gejala sakit berat, demikian Amin Soebandrio.
Baca juga: Epidemiolog UI: Varian lokal Indonesia sudah ada sejak Desember 2020
Baca juga: Jubir Kemenkes: Varian Delta menyebar hampir merata di Indonesia
Baca juga: LIPI: Lonjakan besar kasus COVID-19 di Indonesia didominasi varian delta