Jakarta (ANTARA) - Pertengahan tahun ini, peningkatan kasus COVID-19 di Indonesia sangat signifikan, setiap hari, pesan singkat atau di media sosial mengabarkan bagaimana cara mencegah penyakit itu.
Lely Maulida pada Juni lalu terpapar COVID-19, begitu juga dengan keluarga besarnya. Saat menjalani isolasi mandiri, dia mendapatkan begitu banyak masukan dari keluarga, kerabat dan teman.
"Bingung tentu ada karena keluarga 'share' informasi soal COVID-19 hampir tanpa sortir, termasuk dari sumber yang menurut saya pribadi tidak kredibel," kata Lely kepada ANTARA.
Dia mencontohkan salah satu informasi yang dia terima soal jumlah CT yang aman saat tes swab PCR. Belakangan, dia mendapat informasi susulan bahwa CT bukan acuan untuk dinyatakan sembuh
"Karena COVID-19 ini adalah virus yang benar-benar baru dan masih diteliti, informasi dari sumber terpercaya sekalipun bisa saja membingungkan," kata dia.
Lely sedikit beruntung, profesinya sebagai jurnalis membuat dia paham memilah informasi dari serbuan konten yang dia dapat selama isolasi mandiri.
Saat pandemi ini, bukan hanya virus yang harus dihadapi masyarakat, mereka juga harus punya benteng untuk menghadapi infodemi, informasi yang berlebihan dan belum tentu semuanya benar.
Arus informasi yang begitu deras soal COVID-19 ini menambah kepanikan tersendiri ketika masyarakat sedang berupaya tetap sehat pada masa pandemi ini.
Contoh nyata, belum lama ini masyarakat memborong susu berlogo beruang karena informasi yang beredar menyebutkan susu tersebut bisa menangkal dan menyembuhkan COVID-19.
Pakar kesehatan, termasuk dokter sudah membantah jika susu mengobati COVID-19, namun, masyarakat yang kadung percaya tetap saja memburunya.
Salah seorang pendiri organisasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Aribowo Sasmito, mengamati hoaks kesehatan sudah muncul jauh sebelum pandemi, setidaknya selama dia berkecimpung di dunia pengecekan fakta sekitar enam tahun lalu.
"Memang saat itu (hoaks) belum segawat saat COVID-19," kata Aribowo saat dihubungi ANTARA.
Hoaks, seperti buah, muncul pada musim-musim tertentu. Sebelum pandemi virus corona pada 2020 lalu, hoaks kesehatan tidak seramai saat ini, masih kalah jumlah jika dibandingkan hoaks politik karena Indonesia pada tahun itu sedang dalam masa kontestasi pemilihan umum.
Aribowo mencontohkan hoaks kesehatan yang muncul sebelum pandemi seperti penanganan pertama jika terserang stroke adalah dengan menusuk jari menggunakan jarum.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat terdapat 1.873 isu hoaks sejak 23 Januari 2020 sampai 27 Agustus 2021, ANTARA melansir situs resmi kementerian. Isu tersebut menyebar menjadi 4.579 konten.
Konten tersebut menyebar di media sosial Facebook, Instagram, Twitter, YouTube dan TikTok.
Sementara isu yang berkaitan dengan vaksin COVID-19, menurut temuan Kominfo, terdapat 303 isu per 27 Agustus. Isu tersebut menyebar di Facebook, TikTok, Instagram, Twitter dan YouTube menjadi 2.031 konten.
Temuan tersebut baru berasal dari media sosial, belum termasuk aplikasi pesan instan seperti WhatsApp. Karena sifatnya yang privat, sebaran hoaks di aplikasi pesan instan sulit dilacak.
Rugi karena hoaks
Ketua Umum Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi, Yosi Mokalu, menyatakan sudah banyak contoh untuk menunjukkan bahwa hoaks merugikan.
"Orang itu, ketika terpancing amarahnya, rasa khawatirnya, bisa melaukan hal yang merugikan orang lain," kata Yosi dihubungi terpisah.
Hoaks bisa disebarkan oleh siapa saja, begitu juga dampaknya, bisa mengenai siapa pun.
Setidaknya ada dua kategori orang yang menyebarkan hoaks, mereka yang sengaja dan mereka yang tidak sengaja.
Orang yang dengan sengaja menyebarkan hoaks memiliki agenda tertentu, sementara mereka yang tidak sengaja, bisa karena abai atau tidak mau mencari tahu.
Masalah terbesar saat ini adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran untuk berpikir kritis ketika mengadapi suatu informasi. Aribowo menceritakan, berdasarkan pengalamannya, orang cenderung menyebarkan informasi dulu, baru kemudian bertanya atau mengecek fakta. Bukan sebaliknya, mengecek fakta baru menyebarkan informasi.
Kebiasaan itu ditambah lagi dengan era pascakebenaran atau post-truth, orang memilih kebenaran sesuai dengan seleranya.
Menurut Aribowo, dampak infodemi yang paling terasa belakangan ini adalah keengganan untuk divaksin, meski pun belakangan ini masalah tersebut mulai bisa diatasi.
Dampak lainnya, jika mengacu pada teori post-truth tentang matinya kepakaran (death of expertise), adalah rasa tidak percaya kepada dokter dan tenaga kesehatan. Masyarakat cenderung lebih percaya hasil "Googling" dibandingkan saran dari dokter.
Padahal isu kesehatan ini tidak bisa disepelekan, dampaknya bisa sangat fatal, misalnya salah konsumsi obat yang justru bisa memperparah penyakit.
"Sekarang ini, infodemi adalah urusan nyawa. (Bahwa) hoaks itu membunuh, ya, itu benar," kata Aribowo.
Mengatasi hoaks, infodemi ini memang membutuhkan waktu karena butuh menanamkan kebiasaan pada masyarakat agar mereka tidak mudah percaya kabar burung. Seperti yang dikatakan Yosi, seseorang haru mau menambah pengetahuannya supaya bisa berpikir kritis dan juga hati-hati saat menerima informasi.
Infodemi ini memang berbahaya, yang sakit bisa menjadi semakin sakit karena terpapar informasi yang tidak benar dan salah mengambil keputusan. Menahan jempol supaya tidak buru-buru menyebarkan informasi yang belum tentu benar bisa saja menyelamatkan orang lain hari ini.