Empang Cipaganti atau Situ Garunggang yang berada di lembah bisa dicapai melalui jalan setapak yang menghubungkan Lembangweg dengan Kampung Balubur. Dalam peta tahun 1910, akses jalan itu terlihat jelas dengan garis hitam yang tegas. Di tengah jalan terdapat jembatan yang melintasi sungai Cikapundung.
Dalam legenda peta disebutkan bahwa jalan itu adalah jalan yang bisa dilintasi oleh kuda. Jalan yang bisa dilintasi kuda berarti bukan jalan setapak, meski masih berupa jalan tanah atau jalan makadam, tapi ukuran lebarnya lebih besar dibanding jalan setapak. Ujung jalan yang berada di sebelah timur berakhir di Kampung Balubur.
Dari Kampung Balubur, jika diteruskan jalan itu akan menuju jalan Dago. Namun, jika berbelok ke utara akan menghubungkan Balubur dengan Kampung Lebakgede dan Kampung Cisitu.
Seiring perkembangan zaman, Empang Cipaganti semakin ramai oleh pengunjung dan menjadi salah satu destinasi wisata alam murah meriah. Pengunjung empang ini mayoritas pribumi. Mahasiswa sekolah tinggi teknik sering pula berwisata ke empang ini, sekedar untuk melepas penat setelah lelah belajar. Maka pada libur akhir pekan dimanfaatkan untuk pelesir dan berperahu di empang.
Dalam peta Bandung tahun 1928, ruas jalan yang menghubungkan Lembangweg dengan Kampung Balubur itu diberi nama Jalan Tempat Pelesiran. Sekarang Empang Cipaganti sudah tidak ada lagi, di atas bekas lahan empang dijadikan perumahan. Sedangkan ruas jalan itu sekarang menjadi Jalan Pelesiran. Kata Pelesiran berasal dari kata bahasa Belanda plezier, yang artinya kesenangan atau bersenang–senang. Penamaan ini sesuai karena ketika pelancong yang datang ke Empang Cipaganti memang untuk mencari kesenangan diri atau untuk bersenang – senang.
Sejak awal tulisan ini, sering disebut nama Cihampelas. Sesungguhnya, apa sih Cihampelas itu? Sebagaimana diketahui, bahwa toponomi di Jawa Barat banyak yang menggunakan suku kata depan Ci atau Cai yang artinya air. Biasanya setelah suku kata Ci akan diikuti oleh nama lain yang berasal dari nama hewan, tumbuhan, dan atau kondisi daerah tersebut.
Begitu juga dengan nama Cihampelas, yang berasal dari kata Ci dan Hampelas atau Ampelas. Merujuk pada www.wikipedia.com , Ampelas adalah tumbuhan dari keluarga Moraceae yang tingginya sampai 20 meter dengan gemang 50 cm, tumbuh di seluruh Indonesia, tersebar pada ketinggian kurang dari 1.300 m dpl.
Tumbuhan ini disebut hampelas dalam bahasa Sunda dan bahasa Melayu, serta disebut rampelas dalam bahasa Jawa. Batang dari pohon ampelas berdiri tegak, bulat, dan mempunyai percabangan simpodial. Daunnnya tunggal, berseling, lonjong, tepi bergerigi. Daun ampelas teksturnya kasar dan jika kering bisa dijadikan sebagai ampelas untuk menghaluskan permukaan kayu. Bunganya mempunyai panjang 5–7 mm, berwarna hijau kecoklatan, dan kelopaknya berbentuk corong. Sedangkan bijinya berbentuk bulat dan berwarna putih.
Di dalam Kota Bandung dan sekitarnya, setidaknya terdapat 2 tempat yang menggunakan nama Cihampelas, yaitu di Jalan Cihampelas yang berada di Kota Bandung dan Kecamatan Cihampelas di Kabupaten Bandung Barat.
Dari situ kiranya dapat disimpulkan bahwa ruas Jalan Cihampelas yang kita kenal sekarang adalah mengambil dari nama jalan kecil yang menuju kolam renang Cihampelas. Penggunaan nama Cihampelas sebagai pengganti nama Lembangweg terjadi setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pasca Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Diketahui penggunaan nama Jalan Tamansari sebagai pengganti nama 4 ruas jalan pada masa Hindia Belanda terjadi pada tahun 1950an, maka bisa jadi penggantian nama Lembangweg menjadi Jalan Cihampelas terjadi pada waktu yang bersamaan.
Dalam peta yang dirilis pada tahun 1946, masih tertera Lembangweg untuk ruas Jalan Cihampelas dan Huygensweg untuk ruas Jalan Tamansari.
(*) Penulis: Hamzah Yudi (Sejarawan)
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menguak Cihampelas tempo dulu: kampung, lembah, dan jalan raya.
