Masyarakat di Ciwaringin, termasuk dirinya, saat ini masih melestarikan dan menjaga tradisi batik yang diajarkan tokoh tersebut.
Fatoni memiliki alasan kuat untuk melanjutkan tradisi ini, yakni ingin merawat budaya agar batik tidak punah. Selain sisi ekonomi, ada nilai keberkahan, kebersamaan, dan kesehatan dalam batik Ciwaringin.
Pria berusia 58 tahun ini memutuskan fokus menekuni industri batik pada 2014. Saat itu, dia menegaskan komitmennya untuk meneruskan usaha keluarga besarnya yang dimulai setelah Indonesia meraih kemerdekaan.
Ia merupakan generasi ketiga yang menekuni usaha batik. Awalnya ia kerja apa saja, mulai menjual gorengan sampai mainan anak-anak. Namun akhirnya ia balik ke Ciwaringin dan mulai membatik.
Meski besar di keluarga pembatik, sebenarnya Fatoni tidak begitu mahir dalam menorehkan ujung canting untuk membuat motif batik terukir pada selembar kain.
Oleh karenanya, dia belajar lagi dari nol dan menyelam lebih dalam agar memahami keistimewaan dari batik Ciwaringin.
Lambat laun, kerja kerasnya membuahkan hasil hingga akhirnya beberapa lembar kain batik selesai diproduksi. Menariknya, wastra buatannya waktu itu disumbangkan secara cuma-cuma kepada masyarakat di desanya.
Fatoni tidak hanya melihat membatik sebagai mata pencaharian, tetapi menjadi jalan keberkahan.
Batik ini bisa mencukupi kebutuhan keluarga, bahkan membawanya ke berbagai tempat tanpa biaya. Bagi Fatoni, itulah salah satu berkahnya.
Pemasaran batik hasil buatannya, dilakukan secara daring maupun luring, termasuk dijajakan di hotel-hotel berbintang di Cirebon.