Jadi, keberadaan sejarah itu penting bagi Generasi Z, paling tidak untuk dua manfaat yakni menjadi rujukan dan pembelajaran serta panduan dan suri tauladan, namun sejarah yang hilang karena keikhlasan pelaku sejarah (ikhlas tanpa ekspose) tetap penting ditelusuri agar sejarah tidak sebenar-benarnya hilang.
Salah satu contoh sejarah penting yang kurang terdokumentasikan adalah Pertempuran 10 November 1945. Meskipun ada sejumlah pelaku sejarah yang menulis buku atau berbagi kisah, mayoritas peristiwa tersebut hanya tercatat secara lisan, sering kali tanpa dukungan data konkret, atau hanya sebagian sejarah.
Bahkan, ada sejumlah keterangan terkait pertempuran itu yang justru berkembang dalam banyak versi, sehingga ada sebagian cerita justru dianggap dongeng, karena hanya cerita dari mulut ke mulut yang tak didukung data, atau sering disebut Arek-Arek Suroboyo dengan istilah "ngedabrus" (asal bicara saja).
Untuk akurasi jejak sejarah, maka proses dokumentasi sejarah harus memenuhi dua bukti minimal yakni bukti fisik (dokumen, manuskrip, situs atau cagar) dan bukti non-fisik (keterangan dan atau cerita pelaku sejarah).
Untuk keterangan pelaku sejarah pun hendaknya dari sumber "terdekat" dengan pelaku sejarah, misalnya isteri, anak, kemenakan, cucu, dan bukan teman atau pihak lain.
Sejarah yang Hilang
Dalam diskusi "Kupas Tuntas Peristiwa 10 November" oleh LKBN ANTARA Biro Jatim terungkap fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi seputar tahun 1945 bahwa "perlawanan" Arek-Arek Surabaya terhadap Tentara Sekutu yang dipimpin Inggris itu bukan hanya sekali, tapi dua kali pertempuran.
Dua kali pertempuran adalah Pertempuran 27-29 Oktober 1945 (tiga hari) dan Pertempuran 10 November 1945 (3-4 minggu).
Tidak hanya itu, dua pertempuran itu pun dipicu tiga "provokasi" perlawanan Arek-Arek Surabaya yang merepotkan Sekutu yang datang ke Surabaya pada 24 Oktober 1945 dengan "diboncengi" Netherlands Indies Civil Administration (NICA/Belanda) untuk menjajah lagi.
"Tiga 'provokasi' adalah perobekan bendera merah-putih-biru (19 September 1945), Resolusi Jihad (22 Oktober 1945), dan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (30 Oktober 1945)," kata Ketua LVRI Surabaya Hartoyik, yang juga anggota Laskar Hizbullah yang dipimpin KH Wahid Hasyim dan berjuang sejak November 1945 hingga 27 Desember 1949.
Telaah - Pentingnya sejarah (yang hilang) untuk generasi Z
Oleh Edy M Yakub Senin, 25 November 2024 8:00 WIB