Jakarta (ANTARA) - Dalam hiruk-pikuk dunia keuangan global, keuangan syariah muncul sebagai paradigma yang menarik dan relevan.
Berakar pada prinsip-prinsip Islam, sistem keuangan ini tidak hanya menawarkan suatu metode pembayaran, tetapi juga merupakan pandangan holistik terhadap kehidupan ekonomi yang sejalan dengan nilai-nilai etika dan moral.
Keuangan syariah tidak hanya sekadar alternatif, tetapi menjadi landasan bagi pengembangan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Di Tanah Air, industri keuangan syariah terus bertumbuh. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pangsa pasar industri perbankan syariah Indonesia saat ini mencapai 7,3 persen dari total industri perbankan nasional. Angka tersebut dinilai cukup baik meski mengalami perlambatan akibat dampak pandemi COVID-19 dan ketidakpastian global.
Hal tersebut juga bukan sekadar angka, namun juga menjadi cerminan keberhasilan 13 bank umum syariah, 20 unit usaha syariah, dan 171 bank perekonomian rakyat (BPR) syariah, yang bersama-sama mengukir perjalanan pertumbuhan.
Menariknya, pangsa pasar produk sukuk korporasi, sukuk negara, dan reksadana syariah di sektor pasar modal syariah telah melonjak mencapai 12,7 persen, sementara pangsa pasar saham syariah bahkan mencapai puncak 56 persen di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Tak hanya itu, Indonesia membanggakan diri dengan meraih penghargaan sebagai The Best Islamic Capital Market sebanyak empat kali berturut-turut, sejak 2019 hingga 2022, dari Global Islamic Financial Award.
Industri keuangan syariah nasional dapat digambarkan sebagai mesin potensial yang mampu memenuhi kebutuhan pasar baik dari segmen konsumen ritel maupun bisnis.
Keberagaman layanan dan produk yang ditawarkan, disertai dengan harga bersaing, membuatnya menjadi pilihan menarik bagi masyarakat.
Di panggung global, perbankan syariah tidak hanya menjadi alternatif, melainkan juga kekuatan dalam mendefinisikan masa depan keuangan.