Bandung (ANTARA) - Penjabat Gubernur Jawa Barat Bey Triadi Machmudin menilai KH Abdul Chalim Leuwimunding, yang ditetapkan menjadi salah satu pahlawan nasional 2023 ini, menjadi tauladan atau contoh bagaimana berkontribusi pada negara.
"KH Abdul Chalim jadi pahlawan, tentunya saya sebagai Gubernur bangga ada pahlawan nasional yang menjadi tauladan kita semua, bagaimana berkontribusi kepada negara dan terus berjuang," kata Bey di Bandung, Jumat.
Baca juga: Enam tokoh dianugrahi gelar pahlawan nasional
Bey mengatakan, terkait salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang sempat diwacanakan untuk menjadi nama Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, Majalengka, kemungkinan akan diproses, jika memang ada usulan.
"Kalau memang ada usulan nanti kami proses, tapi kan harus ada usulan, kalau perlu kami akan tunggu," ucapnya.
Berdasarkan data beberapa literatur yang dihimpun, KH Abdul Chalim lahir di Leuwimunding, Majalengka, pada tanggal 2 Juni 1898, dari pasangan Kedung Wangsagama yang merupakan Kuwu (Kepala Desa) dan Satimah.
Kakeknya juga seorang Kepala Desa Kertagama, putra dari Buyut Liuh yang merupakan putra seorang Pangeran Cirebon yang bila ditelusuri tersambung kepada Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Djati.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School), ia belajar di beberapa pesantren di wilayah Leuwimunding dan Rajagaluh, di antaranya Pondok Pesantren Banada, Pondok Pesantren al-Fattah Trajaya, dan Pondok Pesantren Nurul Huda al Ma’arif Pajajar, hingga tahun 1913, ia melanjutkan pendidikannya di Mekkah.
Sepulangnya dari Mekkah, ia bergabung dengan rekannya KH Abdul Wahab Hasbullah yang memiliki komitmen soal nasionalisme dan kebangsaan serta agama, dengan membantu menangani dan mengelola organisasi yang telah dirintis oleh KH Abdul Wahab Hasbullah, yaitu Nahdlatul Wathan yang kemudian menjadi Syubbanul Wathon.
Saat mendirikan Subbanul Wathon ini KH Abdul Chalim bersama dengan KH Abdul Wahab Hasbullah membentuk Komite Hijaz yang bertujuan untuk mengorganisasikan ulama-ulama di nusantara utamanya Jawa dan Madura dalam menyikapi situasi dan kondisi yang terjadi di Timur Tengah (sehubungan dengan berdirinya Arab Saudi).
Berkembang dari situ ulama-ulama yang tergabung dalam Komite Hijaz itu akhirnya sepakat untuk mengadakan pertemuan ulama pesantren yang ada di Jawa dan Madura, dan KH Abdul Chalim akhirnya menulis surat undangan kepada seluruh ulama pesantren tersebut untuk hadir pada pertemuan yang diselenggarakan pada 31 Januari 1926.
Isi surat yang menekankan pada tujuan persatuan dan nasionalisme itu, mendapat respon yang luar biasa dari para ulama itu, hingga sebanyak 65 ulama hadir dalam pertemuan.