Awalnya ada perasaan berat seperti mustahil untuk melakukan ekspedisi, bahkan ada perasaan ingin menyerah saat melakukan pendakian ke 70 atau 80 walaupun ujung-ujungnya, Iyut berani men-declared mimpinya tersebut saat pendakian gunung ke-100.
Selama pendakian, pria kelahiran Bogor 23 Februari 1987 itu dihadapkan pada pro dan kontra terutama dari sang ibu yang merupakan aktivis di gereja. Lewat 'curhatan' ke sang ibu, Iyut berkata ingin membuat bangga orang tua dan mimpinya itu bukan hanya sekadar pendakian, namun akan dijadikan amal jariyah lewat sebuah buku.
"Saya ingin punya karya real," kata Iyut saat itu kepada sang ibu. Hati ibunya pun akhirnya luluh dan memahami apa yang akan dilakukan anaknya.
Selama menjalani ekspedisi, Iyut sudah menggelontorkan Rp310 juta dari kantong pribadi yang terkumpul dari uang pesangon (resign 3 tahun lalu) dan saldo BPJSTK serta tabungan saat bekerja sebagai buruh pabrik di Cikarang selama 13 tahun.
Sekitar 80 persen pendakian dilalui Iyut dengan menggunakan sepeda motor dan sisanya 20 persen menggunakan pesawat karena beberapa daerah mengharuskan melintas di udara.
Selama pendakian dua tahun, ada momen-momen yang mengharuskan Iyut pulang ke rumah seperti saat terjadi cedera lutut dan saraf kejepit, saat adik melahirkan dan ketika dipanggil untuk menjadi sukarelawan di tempat lain. Iyut berprinsip bahwa pendakiannya adalah untuk kemanusiaan dan hanya akan berhenti alias pulang dari pendakian untuk alasan kemanusiaan juga.
Iyut merasa tidak puas dengan ekspedisi pendakiannya lantaran 90 persen dari enam lapis rencananya gagal dieksekusi karena faktor La Nina 3 tahun.
Dia lupa akan satu hal yakni memperhitungkan faktor tersebut yang menyebabkan hampir 80 persen pendakiannya dalam kondisi hujan bahkan sejak pendakian pertama pada Agustus yang biasanya kemarau.
Selama pendakian banyak pengalaman berkesan yang dia dapatkan seperti saat melihat beruang kuskus dua kali di dalam hutan secara langsung sebab hewan tersebut adalah hewan endemik Sulawesi yang hampir punah.