Jakarta (ANTARA) - Memperingati Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke-63, Kejaksaan Agung merilis sejumlah capaian kinerja salah satunya di bidang pidana umum (Pidum), di mana selama periode 22 Juli 2020 sampai dengan 11 Juli 2023, penuntutan sebanyak 3.121 perkara dihentikan menggunakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).
Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Fadil Zumhana dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu, menyebut, pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan suatu terobosan hukum yang bertujuan memberikan penerapan hukum yang bermanfaat dan berkeadilan dengan memberikan ruang serta kesempatan terhadap pelaku untuk memulihkan hubungan dan memperbaiki kesalahan terhadap korban di luar pengadilan (non-judicial settlement) sehingga permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana dapat terselesaikan dengan baik demi tercapainya persetujuan dan kesepakatan di antara para pihak sekaligus memulihkan kondisi sosial di masyarakat.
“Penerapan keadilan restoratif adalah sebuah kebutuhan hukum masyarakat secara global,” kata Fadil.
Fadil mengatakan ada hal yang perlu dicermati dalam penerapan keadilan restoratif, yakni menjadi kewenangan siapa penerapan keadilan restoratif dilakukan dalam setiap sistem hukum.
Menurut dia, hal itu menjadi penting dicermati untuk menyeragamkan tata laksana dan menghindari tumpang tindih kewenangan berdasarkan asas-asas hukum.
Sebab dalam proses penegakan hukum, lanjut dia, terdapat asas-asas hukum yang berlaku dan diakui secara universal yang salah satunya adalah asa Dominus Litis.
“Asas Dominus Litis telah menempatkan jaksa sebagai satu-satunya pihak yang mengendalikan dan mengarahkan perkara,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, arah hukum dari suatu proses sejak tahap penyidikan akan dinilai oleh Jaksa apakah dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan, penilaian Jaksa tersebut tidak hanya dalam aspek kelengkapan formil dan materil semata, melainkan juga aspek kemanfaatan yang akan didapat.
Ia menekankan aspek kemanfaatan ini menjadi penting dalam mewujudkan keadilan restoratif karena di sanalah terdapat kewenangan diskresi penuntutan, inilah bentuk kewenangan Jaksa yang tidak dimiliki oleh penegak hukum lainnya.
Hakim tidak memiliki kewenangan untuk menolak perkara, demikian juga penyidik tidak memiliki diskresi dalam menghentikan penyidikan kecuali karena alasan yang memang diatur menurut hukum acara.
“Kewenangan ini menempatkan jaksa sebagai penjaga gerbang hukum yang menentukan apakah suatu perkara layak atau tidak layak untuk disidangkan,” kata Fadil memaparkan.
Ia melanjutkan ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke pengadilan diharapkan memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih tepat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kejagung hentikan 3.121 perkara lewat keadilan restoratif