Kematian ibu dan anak saat lahir kerap ditemui dalam misinya sebagai dokter keliling. Ia rutin mengunjungi desa-desa di luar Pontianak dengan kapal atau perahu, agar dapat menjangkau daerah terdalam di Kalbar, terutama di perdesaan di luar Pontianak, yang kini berada di sekitar wilayah Kabupaten Kubu Raya dan Mempawah (sebelumnya Kabupaten Pontianak).
Dalam menjalankan tugas, Rubini dibantu istrinya, Amalia Rubini, yang ikut tergabung dalam gerakan Palang Merah dan lainnya.
Selain pada bidang kemanusiaan, sebagai pengurus Parindra, ia turut bergerak di bidang politik, dengan mendorong partai ini memberikan perhatian pada program-program pemajuan kehidupan rakyat.
Di samping itu, ia kerap menyuarakan kepada pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan pelayanan kesehatan masyarakat di Kalbar yang masih jauh tertinggal dari wilayah lain, baik fasilitas maupun SDM-nya.
Menjelang masuk tentara Jepang karena berkobar Perang Pasifik, pada 1941 pemerintah kolonial mengadakan evakuasi terhadap pejabat-pejabat Belanda, penduduk, dan tokoh-tokoh masyarakat penting pribumi, Rubini, juga turut diajak. Akan tetapi, karena kecintaannya kepada Kalbar, dia menolak dievakuasi oleh pemerintah kolonial ke Jawa dan lebih memilih tetap tinggal di Kalbar.
Setelah dokter-dokter Belanda dievakuasi, keadaan makin rumit karena Kalbar kekurangan tenaga kesehatan. Padahal pada Desember 1941 Pontianak sudah mulai dijatuhi bom oleh Jepang yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Atas dasar itu, pemerintah kolonial yang kian terdesak kemudian mengangkat dokter Rubini sebagai perwira kesehatan cadangan dengan pangkat Letnan Dua untuk mengurusi rumah sakit militer yang ditinggalkan dokter-dokter Belanda.
Merawat korban
Bersama dokter-dokter pribumi lainnya yang menolak dievakuasi, Rubini merawat para pasien korban pengeboman Jepang.
Spektrum - Dokter Rubini kelahiran Bandung jadi pejuang kemanusiaan dan tokoh pergerakan di Kalbar
Oleh Andilala Selasa, 15 November 2022 19:52 WIB